Risiko Berkurangnya Modal Jadi Tanggung Jawab BI-LPS
Disertasi Ilmu Hukum:

Risiko Berkurangnya Modal Jadi Tanggung Jawab BI-LPS

Lulus sebagai doktor pertama dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2019.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Sidang ujian terbuka promosi doktor ilmu hukum YuliIndrawati, Jum'at (11/1). Foto: MYS
Sidang ujian terbuka promosi doktor ilmu hukum YuliIndrawati, Jum'at (11/1). Foto: MYS

Dalam dinamika perekonomian, sangat mungkin Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) mengalami kekurangan modal sebagai wujud risiko fiskal. Dalam kondisi berkurangnya modal kedua lembaga tersebut, siapakah yang bertanggung jawab? Dan, apakah negara dapat  menyediakan modal dalam APBN untuk menutupi kekurangan modal tersebut? Begitulah intisari pertanyaan yang mengemuka ketika Yuli Indrawati  mempertahankan disertasi berjudul ‘Risiko Fiskal dalam Operasionalisasi Bank Indonesia dan Lembaga Penjaminan Simpanan: Suatu Telaah Hukum, Ekonomi, dan Politik’ dalam Sidang Terbuka Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Depok, Jum’at (11/1).

Perempuan kelahiran 7 Juli 1969 itu memang berhasil mempertahankan disertasi, dan mengantarkannya sebagai mahasiswa pertama tahun 2019 yang berhasil meraih gelar doktor ilmu hukum dari Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Sekaligus menjadi doktor ke-223 yang lulus setelah Program Pascasarjana Ilmu Hukum dikelola langsung Fakultas Hukum UI. Di bawah bimbingan promotor  Anna Erliyana, dan dua ko-promotor J. Soedrajad Djiwandono dan Valerine JL Kriekhoff, Yuli berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh enam orang anggota tim penguji.

Yuli menyimpulkan bahwa peran dan kewajiban negara akibat berkurangnya modal BI dan LPS dalam kaitannya dengan penggunaan APBN bersifat terbatas. Sebab, UUD 1945 pun membatasi penggunaan APBN, yaitu untuk mencapai tujuan negara: kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial. Penetapan risiko fiskal atas kekurangan modal BI-LPS dapat dimaknai dalam dua hal. Pertama, sebagai perwujudn peran dan kewajiban peran negara menjaga kestabilan moneter dan sektor keuangan. Negara harus menjamin keberlangsungan kelembagaan BI-LPS. Kedua, sebagai perwujudan peran dan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan dan meningkatkan nilai kemanfaatan bagi rakyat.

(Baca juga: MK: LPS Boleh Hapus Buku dan Piutang Bank Likuidasi Saat Krisis).

Penelitian Yuli berkaitan dengan problem rezim keuangan negara yang selama ini diperdebatkan di dunia akademis. Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, modal Bank Indonesia berjumlah sekurang-kurangnya dua triliun rupiah. Modal BI berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Lalu, berdasarkan UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan, modal LPS sekuang-kurangnya berjumlah empat triliun rupiah dan sebanyak-banyaknya delapan triliun rupiah. Sama seperti BI, modal LPS berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini menegaskan bahwa secara yuridis, uang yang berasal dari keuangan negara, yang disetorkan negara kepada BI-LPS berubah status hukumnya menjadi keuangan BI-LPS. Perubahan status hukum keuangan tadi membawa konsekuensi yuridis. Hak untuk melakukan pengelolaan atas modal tersebut ada di pundak BI-LPS, bukan lagi menjadi beban negara. Konsekuensi lanjutannya, melekat pula kewajiban untuk bertanggung jawab atas pengurusan dan pengelolaannya. “Termasuk tanggung jawab atas beban risiko,” tegas Yuli. Risiko dimaksud adalah berkurangnya modal BI-LPS.

Untuk sampai pada penegasan ini, Yuli menggunakan teori badan hukum. Negara adalah badan hukum, demikian pula BI dan LPS. Negara adalah badan hukum orisinal (pembentuk), sedangkan BI dan LPS adalah badan hukum yang dibentuk. Negara selaku pembentuk BI-LPS memberikan sejumlah uang sebagai modal bagi kedua lembaga. Doktrin ilmu hukum menegaskan bahwa setiap badan hukum memiliki kekayaan yang terpisah dari pendirinya; dan punya hak untuk melakukan pengelolaan atas kekayaan itu sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh badan hukum. Dari perspektif ini jugalah tanggung jawab atas segala risiko atau dampak pengelolaan kekayaan muncul. “Sesuai dengan status hukum kelembagaan BI-LPS sebagai badan hukum, maka konsep-konsep hukum yang berlaku bagi badan hukum berlaku juga bagi BI-LPS.

Persetujuan DPR

Pasal 62 ayat (3) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dan Pasal 85 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2009 mengenai Lembaga Penjaminan Simpanan mensyaratkan adanya persetujuan DPR jika pemerintah ingin menutupi kekurangan modal BI-LPS. Persetujuan DPR itu lebih dapat dilihat dari kacamata politik karena DPR adalah lembaga politik.

Persetujuan DPR itu dapat dimaknai dalam beberapa aspek. Pertama, segala sesuatu yang berimplikasi pada APBN harus mendapat persetujuan rakyat, dalam hal ini diwakilkan oleh DPR. Kedua, persetujuan rakyat (DPR) bersifat bersifat mutlak dan konstitusional, sesuai Pasal 23 UUD 1945. Ketiga, selaku lembaga politik yang menggunakan nilai kepentingan, DPR melakukan penilaian atas dasar kepentingan rakyat dalam rangka menjaga amanat UUD 1945 agar APBN digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Keempat, persetujuan DPR diperlukan agar pengeluaran anggaran untuk menutup kekurangan modal BI-LPS tidak menciderai kepentingan rakyat.

(Baca juga: Apakah Barang Rampasan Negara Termasuk Keuangan Negara?).

Yuli menyarankan agar disiapkan dana cadangan guna menjaga keberlanjutan fiskal atas setiap risiko yang ditetapkan dalam APBN sebagai risiko fiskal. Oh ya, risiko fiskal mulai disebut dalam APBN 2008 (UU No. 45 Tahun 2007). Dalam perjalanan APBN, cakupan risiko fiskal itu mengalami dinamika. Pengungkapan risiko fiskal kala itu adalah hasil rekomendasi International Monetary Fund (IMF).

Tags:

Berita Terkait