RKUHAP Belum Lindungi Korban Kekerasan Berbasis Gender
Berita

RKUHAP Belum Lindungi Korban Kekerasan Berbasis Gender

Pembahasan RKUHAP perlu melibatkan perwakilan komunitas kaum hawa.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
RKUHAP Belum Lindungi Korban Kekerasan Berbasis Gender
Hukumonline

Sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia dipandang belum memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan berbasis gender, khususnya perempuan. Mereka yang menjadi korban kekerasan kerap mengalami perbedaan perlakuan di tingkat aparat penegak hukum. Demikian pandangan Divisi Pembaharuan Hukum LBH APIK Jakarta, Veni Siregar di Jakarta, Kamis (12/12).

Veni berpendapat, KUHAP yang berlaku tidak mengatur penanganan perempuan korban kekerasan, semisal kejahatan pemerkosaan. Akibatnya, perlakuan proses hukum terhadap pelaku kekerasan kurang memenuhi hak korban perempuan. Bahkan, belum memenuhi kebutuhan korban atas pemulihan. Padahal, perlindungan hukum bagi perempuan oleh negara telah dijamin dalam UUD 1945.

Selain itu pula diatur dalam tentang UU No.7 Tahun 1984 Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), dan UU No.21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Perempuan dan Orang (TPPPO).

Atas dasar itu, Veni mengusulkan sejumlah penambahan dalam rumusan draf RKUHAP. Antara lain, definisi korban. Dalam RKUHAP rumusan Pasal 1 angka 14 tidak menyebutkan korban kejahatan seksual. Veni mengusulkan ada penambahan kata ‘seksual’. Dnegan begitu, definisi korban berbunyi, “Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, seksual, kerugian nama baik, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

Selain itu, perlindungan bagi perempuan dan kelompok rentan belum diatur. Menurut Veni, perlu diatur perlindungan pasca pelaporan. Dengan begitu, pelaku kekerasan tidak lagi melakukan kekerasan maupun ancaman terhadap korban pelapor.

Ia juga meminta agar dalam pembahasan RKUHAP antara DPR dengan pemerintah mengakomodir adanya ‘surat penetapan perlindungan’ yang diterbitkan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) atas permintaan penyidik. Perlindungan sementara berupa ‘rumah aman’ dan batasan tersangka atau terdakwa agar tidak mendekat dalam jarak 1 KM dari lokasi korban berada.

Keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), lanjut Veni, juga mesti tertuang dalam RKUHAP. “Meskipun bersifat lex generalis, penyebutan LPSK harus ditegaskan dalam RKUHAP,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait