Rumusan Pasal “Kumpul Kebo” Harus Diperjelas
RKUHP

Rumusan Pasal “Kumpul Kebo” Harus Diperjelas

Dikhawatirkan pengaturan dalam RKUHP menimbulkan multitafsir jika disahkan.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Andi Hamzah. Foto : SGP
Andi Hamzah. Foto : SGP

Hidup bersama layaknya suami istri diluar hubungan pernikahan yang sah, alias ‘kumpul kebo’ seharusnya tak perlu dipidana. Namun, dalam RKUHP, hal itu dicantumkan menjadi salah satu ketentuan, yaitu dalam Pasal 485.

Jikalau pasal itu diloloskan, bukan tidak mungkin pihak asing yang tinggal di Indonesia akan terkena dampak sanksi tersebut. Demikian pandangan ketua tim perumus RKUHP Andi Hamzah saat memberikan pandangannya di Komisi Hukum untuk RKUHAP dan RKUHP di Gedung DPR, Rabu (10/4).

Menurutnya, tidak semua perbuatan buruk mesti dipidana. Ia mencontohkan, seseorang yang tidak menggunakan helm saat mengendarai kendaraan roda dua merupakan perbuatan buruk. Tapi, perbuatan tersebut tak dapat dipidana. Prinsip filosofisnya, negara hendak membuat aturan agar menjadi disiplin. Ia berpandangan jikalau RKUHAP dan RKUHP disahkan menjadi regulasi, maka akan mengikat setiap orang yang berada di negara Indonesia, tidak terkecuali pihak asing.

Dikatakan Andi, jika ada pria yang masih bujangan dengan wanita melakukan hubungan suami istri tanpa nikah diganjar hukuman satu tahun, akan riskan. Dalam penyusunan rumusan Pasal 485 RKUHP, ia sempat protes dengan Muladi agar pasal tersebut tak dituangkan. Namun, argumentasinya ditepis oleh Muladi.

“Saya khawatir ini banyak orang bule yang kena, apalagi ini delik aduan. Saya sempat menentang,” ujarnya.

Rumusan Pasal 485 memang tidak menjelaskan apakah menjadi delik aduan atau bukan. Namun ia menegaskan pasal tersebut harus menjadi delik aduan. Cuma, jika pasal tersebut diterapkan akan rawan menimbulkan fitnah. Ia khawatir, dalam praktiknya rawan abuse of power oleh aparat kepolisian. Soalnya bukan tidak mungkin dapat dilakukan penjebakan yang merupakan fitnah. Sehingga dengan mudah orang dapat dijerat dengan pasal tersebut. “Ini perlu dipikirkan siapa yang mengadu,” ujarnya.

Lebih jauh mantan jaksa itu berpandangan sanksi pidana Pasal 485 dengan Pasal 483  ayat (1) huruf e bertentangan. Sebab, rumusan yang sama tetapi sanski hukuman berbeda. Pasal 483  ayat (1) huruf e memberikan sanksi selama lima tahun. Sedangkan Pasal 485 memberikan sanksi pidana 1 tahun. Alhasil, ia berpendapat penerapan pasal tersebut tak tepat. Seharusnya, kata Andi, cukup satu pasal yang menjerat satu perbuatan dengan hukuman yang sama. “Pasal itu tidak tepat,” tambahnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait