SE KPU Dinilai Buka Peluang Politik Dinasti
Utama

SE KPU Dinilai Buka Peluang Politik Dinasti

Isinya memunculkan debat siapa dimaksud dengan petahana.

ADY
Bacaan 2 Menit
Donal Fariz, Indonesia Corruption Watch. Foto: Sgp
Donal Fariz, Indonesia Corruption Watch. Foto: Sgp
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Kawal Pilkada Langsung mendesak KPU menarik SE KPU No. 302/KPU/VI/2015. Menurut peneliti Perludem, Fadli Ramadhani, Surat Edaran tersebut berpeluang besar memandulkan pembatasan praktik dinasti politik dalam penyelengaraan Pilkada. Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota bisa lolos dari kategori petahana atau sedang menjabat.

SE KPU mengatur kepala daerah tersebut tidak masuk kategori petahana jika masa jabatannya berakhir sebelum masa pendaftaran; mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir yang dilakukan sebelum masa pendaftaran;  atau berhalangan tetap sebelum masa jabatannya berakhir dan terjadi sebelum masa pendaftaran. Pengunduran diri dibuktikan dengan surat pemberhentian sebagai kepala daerah dan diterbitkan sebelum masa pendaftaran.

Fadli menilai ketentuan itu tidak selaras dengan UU No. 8 Tahun 2015 tentang pilkada yang mengamanatkan calon kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana. KPU mengatur pendaftaran pasangan calon kepala daerah dilaksanakan 26-28 Juli 2015. Mengacu SE KPU itu sejumlah kepala daerah yang masa jabatannya habis sebelum masa pendaftaran tidak terjangkau oleh ketentuan dalam SE KPU tersebut. Ia mencatat ada 22 daerah yang lolos dari ketentuan SE KPU itu diantaranya kota Cilegon, Kota Semarang dan provinsi Kalimantan Utara.

“SE KPU itu berpotensi besar mementahkan pembatasan praktik dinasti dlm UU No.8 Tahun 2015,” kata Fadli dalam jumpa pers di kantor ICW di Jakarta, Senin (22/6).

Selain itu Fadli mencatat ada empat kepala daerah yang mengundurkan diri sebelum masa pendaftaran yaitu Walikota Pekalongan, Bupati Ogan Ilir, Bupati Kutai Timur dan Walikota Sibolga. Ia menilai keempat kepala daerah itu memanfaatkan celah yang dibuka SE KPU tersebut guna menghindari persyaratan yakni tidak punya konflik kepentingan dengan petahana.

Fadli mengingatkan ketentuan tentang persyaratan bagi bakal calon kepala daerah sebagaimana diatur dalam pasal 7 huruf r UU No. 8 Tahun 2015 sedang digugat di MK. Ia berharap agar KPU menunggu putusan MK tersebut agar kebijakan yang diterbitkan tepat. Koalisi juga mendesak MK mempercepat proses persidangan atas gugatan tersebut karena tahapan Pilkada serentak 2015 sudah berjalan. “Dibutuhkan kepastian hukum pencalonan kepala daerah,” tukasnya.

Peneliti ICW, Donal Fariz, menilai SE KPU itu akan menambah potensi sengketa Pilkada. Sebab, jika calon kepala daerah yang menang nanti terkait dengan petahana maka calon lainnya berpotensi melayangkan gugatan karena UU No. 8 Tahun 2015 tidak membolehkan calon kepala daerah punya konflik kepentingan dengan petahana.

Selain itu Donal mendesak Presiden Joko Widodo dan Mendagri tidak memberi izin permohonan pengunduran diri kepala daerah dengan alasan yang tidak logis. Ia menilai jika petahana mundur sebelum pendaftaran pencalonan kepala daerah dilakukan maka membuka kesempatan bagi keluarganya untuk maju dalam Pilkada. Padahal, regulasi melarang praktik tersebut. “SE KPU No. 302 Tahun 2015 itu malah mengamini kepala daerah yang mengundurkan diri sebelum pendaftaran pencalonan berlangsung,” ujarnya.

Peneliti PARA Syndicate, Toto Sugiarto, berpendapat SE KPU itu membuka pembatasan politik dinasti. Padahal, selama ini politik dinasti yang terjadi di daerah lebih banyak menimbulkan keburukan ketimbang kebaikan. Dengan SE KPU itu maka petahana yang mengundurkan diri membuka peluang bagi keluarganya untuk maju jadi calon kepala daerah.

“Kami berharap Presiden Jokowi dan Mendagri tidak menyetujui kepala daerah yang mundur menjelang Pilkada. Mereka membuka peluang bagi keluarganya untuk maju dalam Pilkada 2015,” papar Toto.
Tags:

Berita Terkait