Larangan ‘Politik Dinasti’ Kembali Dipersoalkan
Utama

Larangan ‘Politik Dinasti’ Kembali Dipersoalkan

Pemohon diminta menguraikan alasan konkrit hubungan calon dan petahana tidak berpengaruh selama proses pencalonan dan pemilihan.

AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Kuasa Hukum Pemohon Andi Syafrani saat menyampaikan dalil-dalil permohonan dalam sidang Pengujian UU Pemilukada, Kamis (2/4). Foto: HumasMK
Kuasa Hukum Pemohon Andi Syafrani saat menyampaikan dalil-dalil permohonan dalam sidang Pengujian UU Pemilukada, Kamis (2/4). Foto: HumasMK
Ketentuan larangan p) dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) kembali dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) Kini, giliran Lanosin bin H. Hamzah yang membawa persoalan itu ke MK. Lanosin adalah adik kandung Bupati Petahana Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan.   Permohonan Lanosin yang tercatat dengan nomor 37/PUU-XIII/2015 ini secara khusus memohon pengujian Pasal 7 huruf r berikut penjelasannya UU No. 8 Tahun 2015 Perubahan atas     “   Pasal 7 menyebutkan    Penjelasan Pasal 7 huruf r menyebutkan    Pemohon menganggap ketentuan yang menetapkan syarat calon kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan Petahana bersifat diskriminasi dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil. Sebab, mengandung salah subjek atau subjeknya keliru. Seharusnya, frasa yang benar terkait dengan norma tersebut adalah “Petahana tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan salah satu calon”, bukan sebaliknya seperti termuat dalam pasal tersebut.   “Larangan pencalonan bagi orang yang memiliki hubungan darah/perkawinan/kelahiran dengan Petahana merupakan sebuah tindakan yang tidak adil dan melanggar prinsip karena telah membelenggu hak asasi seseorang yang sangat mendasar dan alamiah,” paparnya.   Menurutnya, konflik kepentingan adalah situasi/keadaan yang dihadapi seseorang yang tengah menduduki jabatan publik tertentu. Subjek yang memiliki konflik kepentingan seharusnya seorang pejabat atau petugas publik, bukan seseorang yang baru mencalonkan diri dalam jabatan publik, apalagi tidak memiliki posisi jabatan publik sama sekali.   Lagipula, pembatasan pencalonan atas dasar faktor kelahiran/darah/perkawinan secara nyata telah melanggar prinsip yang dilindungi hukum internasional. Hal ini tertuang dalam (ICCPR) 1966 yang telah diratifikasi melalui yang melarang perlakuan diskriminasi salah satunya didasarkan pada kelahiran.   Karena itu, pihaknya meminta MK menghapus Pasal 7 huruf r UU Pilkada itu karena bertentangan dengan UUD 1945. “Atau menyatakan Penjelasan Pasal 7 huruf huruf r UU Pilkada bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tuntutnya.   Permohonan yang teregister nomor 38/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan Bakal Calon Bupati Pandeglang, Ali Nurdin meminta MK memberi tafsir konstitusional bersyarat terhadap Pasal 7 huruf s UU Pilkada. Sebab, ketentuan itu mengandung perlakuan diskriminatif dan tidak adil bagi calon kepala daerah yang berasal PNS, Polri, TNI, pejabat BUMN, atau petahana yang mensyaratkan harus mengundurkan diri ketika mendaftar.   Sementara bagi anggota DPR, DPRD, dan DPD yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak mensyaratkan harus mengundurkan diri dari jabatannya, tetapi cukup memberitahukan kepada pimpinan DPR, DPRD, atau DPD. “Pasal 7 huruf s UU Pilkada dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai   Menanggapi permohonan, anggota Panel Wahidudin Adams meminta pemohon agar menguraikan alasan konkrit dalam permohonan bahwa hubungan calon dan petahana (incumbent) tidak berpengaruh selama proses pencalonan dan pemilihan. “Jadi hubungan ke atas, ke bawah dan ke samping dengan bakal calon, kemenangannnya tidak dipengaruhi petahana, ini agar bisa meyakinkan Majelis,” kata Wahidudin Adams dalam persidangan.  

Sebelumnya, permohonan dan permintaan yang sama diajukan oleh Adnan Purichta Ichsan, anggota DPRD Sulawesi Selatan (Sulsel) yang juga putra Bupati Gowa Sulsel Ichsan Yasin Limpodan Aji Sumarno, menantu Bupati Selayar Sulsel Syahrir Wahab. Keduanya, juga memohon pengujian Pasal 7 huruf r berikut penjelasannya dan huruf s UUPilkada terkait salah satu syarat menjadi bakal calon kepala daerah ini.
encalonan kepala daerah yang memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana (kepala daerah incumbent.

UU No. 1 Tahun 2015tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota (UU Pilkada) terkait syarat yang melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana.

Pasal itu menghalangi hak konstitusional pemohon untuk mencalonkan diri dalam Pilkada di Sumatera Selatan,” ujar kuasa hukum Lanosin, Andi Syafrani dalam sidang pendahuluan yang dipimpin Anwar Usman di ruang sidang MK, Kamis (2/4). Anwar didampingi Wahiduddin Adams dan Muhammad Alim sebagai anggota majelis panel.

Warga Negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut : .... r. tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.”

“yang dimaksud dengan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.”



fairness



civil libertiesInternational Covenant on Civil and Political RightUU No. 12 Tahun 2005





‘memberitahukan pengunduran diri karena pencalonannya sebagai kepala daerah kepada Pimpinan  DPR, Pimpinan DPD, atau Pimpinan DPRD’,” pinta Andi.



Munculnya Pasal 7 huruf r berikut penjelasannya disebabkan pengalaman pemilukada sebelum menggunakan sistem langsung. “Ini kan bermula dari pemilihan yang tidak langsung lalu diubah. Jadi akan lebih lengkap argumennya apabila latar belakang itu diuraikan dalam permohonan,” nasihat sang hakim.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait