Sebab Molornya Pembahasan RUU Terorisme
Berita

Sebab Molornya Pembahasan RUU Terorisme

Mulai hanya satu tahun menyerap aspirasi masyarakat dan pemangku kepentingan, hingga adanya ego sektoral di internal pemerintah terkait dengan keterlibatan peran TNI dalam operasi penanganan terorisme.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Persoalan lain, di dalam internal pemerintah sendiri belum ada persepsi yang sama. Bahkan, masih mengedepankan kepentingan ego sektoral. Misalnya, terkait keterlibatan TNI dalam operasi penanganan terorisme. Ketidaksamaan persepsi di internal pemerintah ini sempat berlangsung hingga tiga kali masa persidangan.

 

Khusus persoalan peran TNI, kata anggota Komisi III DPR itu, mesti proporsional. Sebab bila TNI langsung masuk dalam setiap penanganan aksi terorisme bakal terbentur dengan kewenangan menyelidiki, menyidik hingga menahan yang merupakan wewenang penegak hukum. TNI hanya diberi wewenang sebagai penegakan hukum dalam Pasal 73 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. “Karena yang bisa menangkap dan menahan itu kan penegak hukum,” ujarnya.

 

Meski demikian, akhirnya keterlibatan TNI disepakati hanya beberapa hal. Misalnya TNI bisa dilibatkan ketika ada ancaman terhadap presiden dan keluarganya, ancaman teror di pesawat, bandara udara hingga kedutaan besar (ancaman aset strategis). Akibat perdebatan panjang itu, Panja akhirnya menawarkan opsi agar peran TNI dituangkan dalam aturan turunan yakni Peraturan Presiden atau masuk dalam revisi UU TNI.

 

Peneliti  Badan Keahlian DPR Prof Poltak Partogi mengungkapkan anggota DPR dalam rapat-rapat seringkali sulit  mencapai quorum. Akibatnya, pembahasan kerap molor dari yang dijadwalkan yang sudah ditentukan. Partogi mengatakan semestinya persoalan definisi sudah rampung dibahas. “Seharusnya sudah selesai ini (sebelum masa reses),” kata dia.

 

Menurutnya, pembahasan RUU ini lebih pada peran polisi dan TNI dalam penindakan. Padahal, terdapat lembaga lain yang memiliki peran penting dalam pencegahan tindak pidana terorisme. Misalnya, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merupakan lembaga yang mesti diberi porsi besar mencegah atau penangkal tindak pidana terorisme. Bila saja, ada persamaan persepsi tentang peran BNPT, maka tidak ada lagi tarik menarik kepentingan ego sektoral dalam penanganan terorisme.

 

“Ini kan yang sebenarnya dikejar perbuatan pidananya, bukan ideologinya. Kalau masih banyak pekerjaan rumah RUU ini (perdebatan), susah diketoknya kan,” ujarnya.

 

Jangan asal ancam

Sementara anggota Panja RUU Terorisme Muhammad Nasir Djamil mengkritis usulan presiden yang mengancam akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Namun, pembahasan RUU yang sama halnya dengan isi Perppu yang akan diterbitkan, seharusnya pemerintah mesti menghormati pembahasan RUU Terorisme yang sedang berjalan.

Tags:

Berita Terkait