Sejarah Tiga Firma Hukum era 1980-an dan 'Torehan' Bang Buyung
Sejarah Kantor Advokat Indonesia:

Sejarah Tiga Firma Hukum era 1980-an dan 'Torehan' Bang Buyung

Adnan Buyung Nasution & Associates berjasa mempertemukan pada pendiri LGS dan HHP. LBH pun tak kalah penting karena "melahirkan" para pendiri LSM.

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit

 

Dengan kerja sama yang terjalin antara HHP dan Baker & McKenzie, tentu lawyer-lawyer asing asal kantor hukum Amerika Serikat tersebut, yang sebelumnya bekerja di LHGS, ikut diboyong ke HHP. Sebut saja, Timothy Manring dan Duane J Gingerich. Duane pensiun tahun 2010 dan telah tutup usia pada 2016 lalu.

 

Sepeninggalan Sri Indrastuti, nama LHGS pun berganti menjadi LGS. Seiring dengan bertambah besarnya LGS, firma hukum yang sekarang memiliki sembilan partner dan ratusan associate itu membutuhkan kantor yang lebih besar. Setelah sekitar 14 tahun berkantor di BBD Plaza, akhirnya pada 1998 kantor LGS pindah ke Menara Imperium, Kuningan, Jakarta hingga kini.

 

Hukumonline.com

Kantor LGS di Menara Imperium Jakarta. Foto: NOV

 

Di samping LGS, HHP juga bertumbuh menjadi institusi besar dengan ratusan lawyer, termasuk 17 partner, 96 associate, dan 4 foreign legal consultant. Managing Partner HHP Timur Sukirno mengatakan, sejak awal HHP memang bercita-cita mendirikan institusi. Dan, perjalanan HHP sebagai sebuah institusi, dialami sendiri oleh Timur.

 

Timur merupakan senior partner di HHP. Sebelumnya, Timur bekerja di LHGS sebagai associate muda. Masih lekang dalam ingatan Timur ketika pertama kali ia diajak bergabung dengan HHP. Kala itu, HHP baru berdiri. HPP pertama kali berkantor di Landmark Tower. Sembilan tahun kemudian, kantor HHP pindah di The Indonesia Stock Exchange Building, Tower II, SCBD.

 

"Di sini almost (hampir) 20 years (tahun) lah, tahun ini kali ya. (Pertama kali) Partner tuh kalau tidak salah empat atau lima. Associate-nya tiga. Saya, Teguh Maramis (sekarang menjadi partner di kantor hukum Lubis, Santosa, Maramis -dahulu bernama Lubis, Santosa, Maulana), dan satu orang lagi perempuan, Evi kalau tidak salah," terangnya.

 

Adapun alasan Sri Indrastuti Hadiputranto berpisah dari NLH dan LHGS tidak disebutkan secara spesifik oleh Timur. Ia hanya menjelaskan perpecahan antara para pendiri firma hukum adalah hal yang wajar. Terlebih lagi, untuk mendirikan sebuah firma hukum memerlukan kecocokan dan visi yang sama.

 

"Kalau membentuk partnership itu kan lebih ke arah cocok-cocokan ya, irama kerjanya sama, ekspektasi dari masing-masing juga tahu, ukuran ekspektasi itu terhadap yang lain bagaimana. Jadi, banyak yang sampai sekarang pun sekongsi kemudian jadi bubar, partnership jadi bubar, itu juga karena masing-masing punya visinya sendiri-sendiri," ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait