Sejumlah Alasan UU ITE Perlu Diubah Secara Total
Utama

Sejumlah Alasan UU ITE Perlu Diubah Secara Total

Untuk memastikan pengaturan yang harmonis dan minim risiko, terlebih dahulu pemerintah dan DPR merumuskan arah dan politik hukum pengaturan teknologi informasi dan komunikasi ke depan. Mulai perbaikan sejumlah ketentuan pidana, khususnya Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE yang sebenarnya masuk kualifikasi cyber-enabled crime; pengaturan kembali tata kelola konten internet; tanggung jawab platform digital.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar menilai kebutuhan revisi UU ITE menjadi momentum memperbaharui seluruh materi UU ITEdengan beberapa alasan. Pertama, perbaikan sejumlah ketentuan pidana. Khususnya Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE yang sebenarnya masuk kualifikasi cyber-enabledcrime atau kejahatan konvensional yang diekstensifikasi menggunakan komputer.

Tapi, perumusannya dipersamakan dengan cyber-dependent crime atau kejahatan yang muncul karena adanya teknologi komputer. Sebab, proses pembuktian keduanya setiap unsurnya berbeda-beda. Karena itu, perumusannya jenis pasal ini semestinya dibedakan. Terbukti, dalam penerapan UU ITE kerap muncul persoalan terutama pasal-pasal pidana cyber-enabled crime. “Untuk ketentuan pidana cyber-dependent crime (Pasal 30-Pasal 35) relatif tidak ada permasalahan,” kata dia.

Kedua, pengaturan kembali tata kelola konten internet. Sebab, selama ini lebih menekankan pada aspek pembatasan sebagaimana diatur Pasal 40 ayat (2) UU ITE. Perumusan Pasal 40 ayat (2) huruf b UU ITE memberi wewenang bagi pemerintah untuk melakukan pembatasan terhadap konten internet yang melanggar peraturan perundang-undangan (illegal content).

Sayangnya, dalam pengaturan pasal tersebut belum secara jelas menyebutkan jenis-jenis konten yang melanggar undang-undang seperti apa dan jenis bahaya (harmfull) apa yang mengancam? Selain itu, UU ITE belum mengatur prosedur dalam melakukan pembatasan. Termasuk peluang untuk melakukan pengujian terhadap tindakan pembatasan tersebut (judicial oversight).

Mengacu pada prinsip dan instrumen HAM, setiap tindakan pembatasan terhadap hak, termasuk di dalamnya hak atas informasi, setidaknya harus memenuhi tiga hal yakni diatur oleh hukum (prescribed by law); untuk suatu tujuan yang sah (legitimate aim); dan tindakan itu betul-betul mendesak diperlukan (necessity). “Prinsip-prinsip pembatasan inilah yang semestinya dirumuskan secara baik dan ketat dalam UU ITE guna menghindari praktik pembatasan konten (blocking and filtering) yang sewenang-wenang,” paparnya. 

Ketiga, terkait dengan tanggung jawab platform, UU ITE juga belum memadai menjadi rujukan dalam pengaturan platform digital dengan berbagai model bisnisnya. Seperti aggregationplatformssocial platform, hingga mobilization platforms. Menurut Wahyudi, kondisi ini sering memunculkan perdebatan sektoralisme pengaturan yang berujung pada kerugian pengguna untuk dapat menikmati secara penuh hak atas informasi.

Oleh sebab itu semestinya proses amandemen UU ITE dapat mengakomodasi pengaturan prinsip-prinsip penting mengenai platform digital,” sarannya.

Tags:

Berita Terkait