Sejumlah Catatan Negatif Terkait UU Cipta Kerja
Terbaru

Sejumlah Catatan Negatif Terkait UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja dinilai banyak merugikan buruh, nelayan, dan kelompok masyarakat lain, lebih banyak melayani kepentingan korporasi, hingga melahirkan hiper regulasi semu. Pembuatannya pun banyak yang tidak sesuai mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Sejumlah Catatan Negatif Terkait UU Cipta Kerja
Hukumonline

Proses pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu permohonan diajukan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite Pembela Hak Konstitusional (Kepal), antara lain SPKS, SPI, SNI, Yayasan Bina Desa, Sawit Watch, IHCS, KRKP, dan IGJ.

Peneliti IHCS, Gunawan menilai UU Cipta Kerja mengulang kebijakan yang pernah diterbitkan pada masa orde baru yang intinya memberi kemudahan bagi investasi melalui pembentukan peraturan perundang-undangan. Pada awal orde baru, pemerintah menerbitkan UU Penanaman Modal Asing pada tahun 1967 dan mengabaikan UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dengan cara menerbitkan regulasi, seperti UU Pertambangan, UU Kehutanan dan lainnya.

“Orde baru mengawali dengan pembentukan regulasi untuk penanaman modal asing, mantra utama orde baru yakni pertumbuhan ekonomi dan stabilitas. Tapi kekuasaan orde baru diakhiri dengan krisis ekonomi yang dibarengi krisis politik,” kata Gunawan dalam webinar peluncuran buku bertema “Tiada Demokrasi Tanpa Prosedur Demokratik Salah Prosedur dan Salah Atur Omnibus Law Cipta Kerja”, Selasa (8/6/2021). (Baca Juga: 10 Dampak UU Cipta Kerja terhadap UU Ketenagakerjaan)

Dia melihat konsolidasi demokrasi tidak dapat terbangun di era pemerintahan Gusdur karena yang terjadi konflik elit. Pada pemerintahan Megawati banyak terbit UU yang mendorong liberalisasi di berbagai bidang seperti agraria, pertanian, dan perhutanan. Akhir masa pemerintahan SBY terjadi krisis ekonomi. “Ada banyak UU yang terbit pada era tersebut yang diuji ke MK dan dinyatakan bertentangan dengan konstitusi,” kata dia mengingatkan.

Menurut Gunawan, periode pertama pemerintahan Jokowi tidak menggulirkan perubahan UU, tapi membenahi peraturan di bawah UU untuk mendongkrak peringkat kemudahan berusaha dan investasi. Sampai akhirnya pemerintah menginisiasi pembentukan UU omnibus law melalui UU Cipta Kerja. “Problem investasi dan kemudahan berusaha itu tidak melulu dari peraturan perundangan-undangan, tapi juga perilaku kekuasaan dan elit politik yang tidak menyelesaikan persoalan masyarakat, seperti konflik agraria,” tegasnya.

Gunawan berpendapat UU Cipta Kerja hanya memberikan ilusi investasi. Baginya, uji formil terhadap UU Cipta Kerja ke MK yang dilakukan Kepal tidak sekedar untuk menjegal UU tersebut. Lebih dari itu, pengujian yang diajukannya untuk mengawal independensi MK sebagai pengawal konstitusi dalam pelaksanaan eksekusi putusan, mempertahankan tafsir MK terkait hak konstitusional dalam berbagai putusan MK yang berlaku final and binding.

Koordinator Huasa Hukum Kepal, Janses E Sihaloho, menyebut banyak ketentuan dalam UU Cipta kerja yang merugikan buruh, nelayan, dan kelompok masyarakat lain. Dalam prosedur pembentukannya banyak yang tidak sesuai mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan mengajukan uji formil diharapkan hakim konstitusi bisa fokus untuk mencermati proses lahirnya UU Cipta Kerja ini. “Jika uji formil ini dikabulkan, maka kita tidak direpotkan lagi dengan uji materilnnya,” kata Janses dalam kesempatan yang sama.

Janses mencatat beberapa proses yang tak lazim dalam pembentukan UU Cipta Kerja, misalnya tidak ada naskah akademik. Dalam pembahasan tingkat 1 di DPR juga tidak ada RUU yang dibahas. Ribuan halaman RUU Cipta Kerja dibahas dalam waktu sangat singkat dan cenderung berubah-ubah. Janses berharap MK dapat mengabulkan uji formil UU Cipta Kerja ini meskipun selama ini tercatat MK belum pernah mengabulkan permohonan uji formil UU.

Ketua YLBHI Asfinawati menilai UU Cipta Kerja melahirkan hiper regulasi dan semu. Pemerintah berdalih UU Cipta Kerja untuk menyederhanakan peraturan perundang-undangan yang telah ada berkaitan dengan investasi dan kemudahan berusaha. Tapi UU Cipta Kerja malah memandatkan pemerintah untuk melahirkan ratusan peraturan pelaksana baru. “UU Cipta kerja banyak memandatkan aturan turunan. Aturan pelaksananya bukan mengatur norma turunan dan malah tidak ada kepastian hukum,” paparnya.

Asfin menilai ketentuan UU Cipta Kerja banyak yang melayani kepentingan korporasi, salah satunya Pasal 57 yang mengubah Pasal 162 UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (UU LLAJ). Ketentuan itu mengatur kendaraan yang mengangkut alat berat dengan dimensi melebihi yang ditetapkan harus mendapat pengawalan dari polisi.

“Pasal tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena konstitusi mengamanatkan Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,” kata Asfin.

Menurutnya, UU Cipta Kerja semakin memberi kewenangan yang besar terhadap Polri karena bisa menerbitkan perizinan berusaha sekaligus pendidikan dan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan. UU Cipta Kerja juga mengatur ketentuan yang berpotensi mendorong Polri lebih represif, antara lain mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat.

“Padahal apa yang disebut dengan penyakit masyarakat masih menimbulkan perdebatan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait