Sejumlah Kritik terhadap Proyek Food Estate
Terbaru

Sejumlah Kritik terhadap Proyek Food Estate

Pemerintah perlu meninjau kembali regulasi proyek food estate dengan mempertimbangkan dampak kerusakan ekologi dan menurunnya kesejahteraan petani lokal sebagai efeknya.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

“Ancaman kesejahteraan masyarakat dan kerusakan alam yang luar biasa, karena kerugian yang ditimbulkan dari proyek food estate jauh lebih banyak daripada keuntungannya,” ujarnya.

Sementara, Campaigner Pantau Gambut Wahyu A. Perdana membeberkan penggunaan alokasi anggaran yang cukup besar sebanyak Rp1,5 triliun untuk proyek food estate di tahun 2021-2022. Sayangnya terbukti belum mampu mengakselerasi hasil panen. Hal ini terjadi akibat lahan yang ditanami sebagian besar merupakan lahan gambut yang selalu basah dan memiliki tingkat keasaman cukup tinggi, sehingga tidak cocok dengan komoditas pertanian skala besar.

Dari riset yang dilakukan Pantau Gambut, empat wilayah Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di Kalimantan Tengah terindikasi masuk ke dalam tingkat kerentanan tinggi (high risk) kebakaran hutan dan  lahan (Karhutla). Diantaranya, 190.395 hektare pada KHG Sungai Kahayan-Sungai Sebangau yang termasuk ke dalam wilayah food estate juga berada dalam kondisi yang sama rentannya.

Dia mencatat, hutan gambut yang dibuka untuk lumbung pangan dapat melepaskan emisi sekitar 427ton karbon ke udara. Terlebih lagi, ekosistem gambut yang rusak sangat sulit dan mahal untuk direstorasi, butuh waktu 10.000 tahun untuk pembentukannya. “Pantau Gambut merekomendasikan agar pemerintah meninjau kembali regulasi proyek food estate dengan mempertimbangkan dampak kerusakan ekologi dan menurunnya kesejahteraan petani lokal sebagai efeknya,” ujar Wahyu.

Dosen dan Peneliti Sosiologi Pertanian-Pangan Institut Teknologi Bandung (ITB) Angga Dwiartama, berpandangan sistem kedaulatan pangan di Indonesia telah mengalami pergeseran dengan menjustifikasi tindakan pembukaan lahan untuk proyek food estate. Dengan demikian, tujuan utama untuk pemenuhan pangan melalui sistem pangan dan sumber daya lokal sebagaimana dimandatkan UU No.18 Tahun 2012  tentang Pangan malah menjadi terlupakan.

“Pertanian yang bersifat monokultur dan berskala besar akan membuat keanekaragaman hayati Indonesia dari sangat kaya di alam tropis, menjadi sangat rentan akan kerusakan ekologi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait