Sekelumit Kisah Perjalanan UU Anti-Terorisme
Utama

Sekelumit Kisah Perjalanan UU Anti-Terorisme

UU sepertinya menjadi obat mujarab dalam mengatasi aksi terorisme di tanah air. Padahal, berbagai upaya pencegahan tak boleh diabaikan. 

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Namun salah satu terdakwa bom bali I saat itu, Masykur Abdul Kadir kemudian mengajukan permohonan judicial review terhadap UU No. 16 Tahun 2003 tentang Penerapan Perppu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perppu No. 1 Tahun 2002 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Akhirnya, pada 23 Juli 2004, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 16 Tahun 2003.

 

Dalam putusannya, lima orang majelis hakim mengabulkan permohonan judicial review terhadap UU No. 16 Tahun 2003 karena keberlakuan UU tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Hal ini merujuk pada Pasal 28I UUD 1945 yang menyebutkan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Sedangkan empat orang majelis hakim lain, menyatakan pendapat yang berbeda (dissenting opinion).

 

Beberapa tahun kemudian, judicial review pernah dilakukan terpidana Bom Bali I Amrozi, Imam Samudera dan Ali Ghufron terhadap UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanan Pidana Mati ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menilai UU tersebut bertentangan dengan ketentuan hak untuk tidak disiksa dalam Pasal 28I UUD 1945. Akhirnya, pada 21 Oktober 2008, Mahkamah Konstitusi menolak uji materi yang diajukan Amrozi Cs.

 

Lalu pada 2009, teror bom di Jakarta kembali terjadi di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton. Kemudian, teror bom di Masjid Mapolresta Cirebon pada 15 April 2011, bom Solo di GBIS Kepunton pada 25 September 2011, bom Solo di Pospam Gladak Solo, Jawa tengah pada Agustus 2012 dan bom Polres Poso pada 9 Juni 2013. Pada tahun 2010, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) resmi dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2010.

 

Hukumonline.com

 

Babak Baru

Pada 14 Januari 2016, terjadi ledakan dan serangan bom di jalan MH Thamrin, gedung Sarinah, Jakarta Pusat. Serangan di tengah kota Jakarta itu menghentakkan banyak pihak. Menko Polhukam saat itu Luhut Binsar Panjaitan meminta DPR untuk merevisi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Harapannya, UU yang baru bisa mencegah tindakan teroris secara preventif sehingga serangan tidak terjadi.

 

Seminggu setelah itu, RUU Anti Terorisme pun masuk Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2016. Dalam revisi terdapat sejumlah poin perubahan usulan pemerintah. Mulai adanya penambahan batas waktu penangkapan dan penahanan; Izin penyadapan cukup dari hakim pengadilan; Penanganan kasus diperluas termasuk bagian dari upaya preventif; Mencabut paspor bagi WNI yang mengikuti pelatihan militer teror di luar negeri; Pengawasan terhadap terduga dan mantan terpidana terorisme hingga proses rehabilitasi.

 

Pada 11 Februari 2016 draf RUU Anti-Terorisme diserahkan ke DPR. Lalu, DPR membentuk panitia khusus pembahasan RUU Anti Terorisme. Keberadaan anggota Pansus RUU Anti Terorisme disahkan pada 12 April 2016. Sejumlah pasal disebut koalisi masyarakat sipil sebagai pasal kontroversial. Misalnya terkait penahanan selama 6 bulan tanpa status hukum jelas, yang disebut pasal Guantanamo. Lalu, pasal soal keterlibatan dan kedudukan TNI dalam pemberantasan terorisme. Hingga definisi terduga teroris hingga luasnya cakupan tindakan terorisme dan kekerasan.

Tags:

Berita Terkait