Sekelumit Kisah Perjalanan UU Anti-Terorisme
Utama

Sekelumit Kisah Perjalanan UU Anti-Terorisme

UU sepertinya menjadi obat mujarab dalam mengatasi aksi terorisme di tanah air. Padahal, berbagai upaya pencegahan tak boleh diabaikan. 

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Sebelum tahun 2000, tepatnya pada 19 Mei 1999, Presiden BJ Habibie menandatangani UU No. 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Dalam bagian menimbangnya, UU 26/1999 menyatakan bahwa UU No. 11/PNPS/1963 bertentangan dengan hak asasi manusia dan prinsip negara yang berdasarkan atas hukum serta menimbulkan ketidakpasitan hukum, sehingga dalam penerapannya menimbulkan ketidakadilan dan keresahan bagi masyarakat.

 

Tertulis dalam buku Adnan Buyung Nasution, Pergulatan Tanpa Henti: Pahit Getir Merintis Demokrasi, penyusunan RUU Anti Terorisme sudah dilakukan sejak akhir 1990-an. Awalnya, pemerintah menyusun rancangan tanpa mengikutsertakan masyarakat, pakar hukum dan akademisi di luar pemerintah. Saat sosialisasi rancangan dilakukan, Buyung bersama Hakim Garuda Nusantara, Mulyana Kusumah dan Indrianto Senoadji menentang keras konsep tersebut. Menurut Buyung, konsep tersebut bertolak belakang dengan kepentingan nasional dan melanggar prinsip-prinsip keadilan maupun HAM.

 

Setahun kemudian, Buyung dan beberapa pakar lainnya diminta pemerintah sebagai tenaga ahli untuk menyusun rancangan UU Anti Terorisme yang kedua. Rumusan yang pertama dicabut. Alhasil, sekira tanggal 20 Mei 1999, tim pakar RUU Anti Terorisme mempresentasikan hasilnya dalam sebuah lokakarya di BPHN.

 

Dalam RUU Anti Terorisme tersebut, terdapat beberapa hal yang belum disepakati. Pertama, terkait data intelijen. Kedua, muncul usulan dibentuknya lembaga khusus atau satuan tugas yang menangani terorisme. Isu ketiga tentang asas retroaktif, apakah UU Anti Terorisme dapat berlaku surut terhadap peristiwa atau perkara yang sudah terjadi. Sementara belum ada kesepakatan mengenai isu-isu ini, terjadi peristiwa Bom Bali I.

 

Baca:

 

Pasca Perppu

Usai Perppu No. 1 Tahun 2002 dan Perppu No. 2 Tahun 2002 terbit, serangan teror bom di Indonesia terus terjadi. Bahkan, hampir setiap tahun serangan teror bom berlangsung di pelosok Bumi Nusantara. Serangan teror tak kunjung padam hingga Perppu No. 1 Tahun 2002 ditetapkan menjadi UU No. 15 Tahun 2003 dan Perppu No. 2 Tahun 2002 ditetapkan menjadi UU No. 16 Tahun 2003 pada awal tahun 2003.

 

Akhir Desember 2002 misalnya, terjadi serangan teror bom terhadap restoran McDonald’s di Makassar. Awal 2003 terdapat teror bom di kompleks Mabes Polri Jakarta, bandara Soekarno Hatta, teror bom di Hotel JW Marriot, ledakan bom di kafe Bukit Sampoddo Indah, Kabupaten luwu, Palopo, bom di Kedubes Australia tahun 2004 silam, bom di Pamulang, Tangerang, hingga Bom Bali II pada tahun 2005.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait