Sengketa Keuangan Syariah Diprediksi Meningkat Saat Covid-19
Berita

Sengketa Keuangan Syariah Diprediksi Meningkat Saat Covid-19

Advokat diminta untuk bersiap menangani perkara sengketa keuangan syariah sekaligus menjadi panglima terdepan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Industri Keuangan syariah diprediksi bakal ‘panen’ sengketa dalam masa pandemi virus Corona atau Covid-19. Menurut Staf Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Lukmanul Hakim, gugatan akan muncul hampir di seluruh jenis industri keuangan syariah.

 

“Industri keuangan syariah diprediksi akan ada masalah di tahun 2020. Akan ada gugatan, di hampir semua industri keuangan Syariah akan muncul,” kata Lukmanul Hakim dalam sebuah Webinar, Senin (11/5).

 

Untuk sektor perbankan, Lukmanul menyebut bahwa sengketa berpotensi muncul untuk bank syariah yang memiliki modal dibawah Rp10 triliun, terutama jika Covid-19 berlangsung lebih lama dari prediksi, yakni melewati bulan Juni. Dengan demikian, bank syariah seperti BPRS menjadi bank yang rentan mengalami sengketa di tengah pandemi Covid-19.

 

“Ada beberapa bank Pemda yang sudah lampu merah, dampaknya ke LPS, sudah ada rush di beberapa dareah dan itu harus ditahan. Dampak sengketanya akan muncul di sengketa BPRS,” sebutnya.

 

Dengan potensi sengketa yang akan muncul di industri syariah, Lukmanul mengingatkan kepada para advokat untuk siap menangani sengketa ini agar tidak menjadi chaos. (Baca: Ada Kontribusi MA dalam Pertumbuhan Ekonomi)

 

Kemungkinan akan semakin banyak muncul problem dalam kuangan Syariah. Ini justru menjadi kesempatan advokat untuk mempersiapkan diri dan menjadi panglima penegak hukum, bagaimana cara mensiasasi ini tidak menjadi chaos,” imbuhnya.

 

Hakim Yustisial Mahkamah Agung (MA), Mardi Candra, menjelaskan jika jumlah sengketa yang muncul di sektor perbankan syariah tidak sebanyak sengketa di perbankan konvensional, meskipun terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. pada 2016 sengketa perbankan syariah di Peradilan Agama berada di angka 229, kemudian di tahun 2018 sengketa bertambah menjadi 287, dan di tahun 2019 meningkat menjadi 312.

 

Adapun sengketa terbanyak terjadi di jenis akad murahabah, kemudian diikuti oleh mudaharabah dan kemudian perlawanan eksekusi.

 

Lalu menghadapi potensi gugatan tersebut, Mardi menilai Peradilan Agama (PA) sudah cukup siap. Terutama dari jumlah hakim-hakim yang cukup mumpuni dalam menangani perkara syariah, dan juga didukung oleh regulasi yang sudah tersedia.

 

“Di Peradilan Agama, ada namanya majelih khusus yang diisi oleh hakim-hakim yang mumpuni menangani perkara syariah. Dan regulasi juga sudah siap,” katanya pada acara yang sama.

 

Mardi memaparkan, saat ini Peradilan Agama memiliki jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) yang mencapai 1308 Hakim besertifikat ES, Majelis Khusus Perkara ES. Selain itu didukung dengan dua regulasi, yakni Perma No.14 Tahun 2016 tentang Tatacara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah dan Perma No. 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Perma No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Sementara untuk infrastruktur, tersedia Gedung kantor yang representatif, E-Court dan E-Litigation.

 

Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Syarian Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Jaih Mubarok, berpendapat bahwa peningkatan sengketa di sektor syariah bsia membuat pengadilan agama menjadi lamban. Dia mencatat setidaknya ada enam persoalan yang selama ini terjadi di Pengadilan Agama.

 

Beberapa persoalan tersebut adalah terlampau banyak perkara, berkas yang tidak lengkap, rumitnya perkara, kurangnya komunikasi antar pengadilan, kurangnya sarana/fasilitas, dan adanya tugas sampingan para hakim.

 

Guna menghindari penumpukan sengketa, maka Jaih meminta semua pihak untuk dapat menahan diri. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan restrukturisasi guna mendapatkan win-win solution bagi kedua belah pihak tanpa harus berlabuh ke pengadilan agama.

 

“Saat situasi begini masing-masing harus bisa menahan diri. Misalnya berikan keluangan waktu kepada nasabah dalam menjalankan kewajibannya, dalam bahasa bisnis restrukturasi,” imbuhnya.

 

Namun Jaih mengingatkan bahwa restrukturisasi pada sektor perbankan syariah memiliki konsep yang berbeda. Penggunaan Bahasa subsidi bunga pada aturan yang diterbitkan oleh pemerintah tidak dapat diterapkan dalam konsep syariah. Maka dia berharap agar pemerintah dapat meluruskan istilah tersebut.

 

Tags:

Berita Terkait