Sengketa Perjanjian Pembiayaan: Perdata atau Konsumen?
Kolom

Sengketa Perjanjian Pembiayaan: Perdata atau Konsumen?

Sengketa pembiayaan masuk kategori sengketa perdata kontraktual jika terjadi wanprestasi/lalai dalam melaksanakan kewajiban kontraktual. Sedangkan, sengketa konsumen hanya berkaitan dengan pelanggaran hak dan kewajiban konsumen maupun pelaku usaha.

Bacaan 4 Menit
Jefferson Hakim. Foto: Istimewa
Jefferson Hakim. Foto: Istimewa

Seiring meningkatnya kebutuhan pembiayaan atas suatu barang dan/atau jasa, pelaku usaha maupun orang perseorangan membutuhkan modal yang disediakan oleh institusi keuangan, seperti bank maupun perusahaan pembiayaan. Namun kenyataannya bank tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan modal pelaku usaha maupun orang perseorangan serta keterbatasan lain meliputi batasan pemberian kredit, keterbatasan dana yang dapat disalurkan, serta regulasi yang ketat dalam memberikan fasilitas kredit. Oleh karena itu, perusahaan pembiayaan (financing/leasing companies) hadir dalam memenuhi permintaan pembiayaan tersebut di atas.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor: 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan (POJK 35/2018), perusahaan pembiayaan merupakan badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan barang dan/atau jasa. Selanjutnya, kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh perusahaan pembiayaan meliputi pembiayaan investasi, pembiayaan modal kerja, pembiayaan multiguna, dan/atau kegiatan usaha pembiayaan lain berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia (OJK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 beleid tersebut.

Pelaksanaan perjanjian pembiayaan dilakukan antara pelaku usaha maupun orang perseorangan selaku pihak yang menerima pembiayaan (debitur) dengan perusahaan pembiayaan selaku pihak yang memberikan pembiayaan (kreditur). Dalam hubungan debitur dan kreditur ini menjadi wajar jika ditemukan sengketa terkait pelaksanaan perjanjian pembiayaan. Mulai dari keterlambatan pembayaran angsuran, objek pembiayaan yang ditarik oleh kreditur, dan sebagainya. Pada umumnya permasalahan penarikan objek pembiayaan dari penguasaan debitur ke tangan kreditur merupakan faktor utama pihak debitur mengajukan gugatan di hadapan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Baca juga:

Tidak jarang, BPSK memenangkan gugatan debitur meskipun pada putusan BPSK terungkap fakta debitur lalai dalam melaksanakan kewajiban kontraktualnya seperti membayar angsuran sesuai dengan jumlah dan waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian pembiayaan. Akibatnya, perusahaan pembiayaan yang merasa dirugikan akibat putusan BPSK tersebut mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen).

Setelah dilakukan pemeriksaan atas keberatan kreditur, Pengadilan Negeri menyatakan Putusan BPSK batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Pertimbangan dalam putusan Pengadilan Negeri tersebut adalah BPSK tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa pembiayaan.

Lalu, apakah sengketa antara debitur dan kreditur dalam perjanjian pembiayaan tunduk dapat dikategorikan sebagai sengketa konsumen atau sengketa perdata kontraktual? Pertama, Pasal 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor: 6/POJK.07/2022tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan (POJK 6/2022) menegaskan bahwa konsumen merupakan pihak yang menempatkan dana dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun. Dalam hal ini, Pasal 1 POJK 6/2022 tidak menyebutkan debitur (pelaku usaha maupun orang perseorangan yang menerima pembiayaan) sebagai “konsumen” pada suatu perjanjian pembiayaan maupun layanan yang diberikan perusahaan pembiayaan.

Kedua, POJK 35/2018 tidak mengenal istilah “konsumen”, melainkan POJK 35/2018 menggunakan istilah “debitur” yang didefinisikan sebagai badan usaha atau orang perseorangan yang menerima pembiayaan barang dan/atau jasa dari perusahaan pembiayaan sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 19 POJK 35/2018. Ketiga, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1/Yur/Perkons/2018 mengatur bahwa setiap sengketa yang berangkat dari perjanjian pembiayaan, baik yang dijaminkan dengan hak tanggungan maupun fidusia tidak tunduk pada UU Perlindungan Konsumen. Oleh karenanya BPSK tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara dimaksud. Untuk itu, debitur dalam perjanjian pembiayaan bukan merupakan “konsumen”, sehingga segala bentuk wanprestasi tunduk pada hukum perdata kontraktual.

Sehubungan dengan argumentasi Penulis di atas, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 335/K/Pdt.Sus/2012 tanggal 6 September 2012 (PT. Mandiri Tunas Finance melawan Sunardi) menyatakan bahwa Pengadilan Negeri pada perkara a quo telah salah dalam menerapkan hukum dengan menguatkan Putusan BPSK Nomor: 24/Abs/BPSK-Yk/X/2011 tanggal 6 Oktober 2011 yang mana BPSK tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara dimaksud.

Dalam hal ini poin utama gugatan Sunardi (debitur) adalah keberatan terhadap penarikan kendaraan bermotor yang dijadikan objek jaminan fidusia oleh PT. Mandiri Tunas Finance (kreditur). Penarikan objek jaminan fidusia tersebut merupakan akibat dari kelalaian debitur dalam melaksanakan kewajiban kontraktualnya berupa melakukan pembayaran angsuran dan bunga sebagaimana dimuat dalam perjanjian pembiayaan. Hakim Syamsul Ma’rif pada Putusan Mahkamah Agung di atas berpendapat bahwa sengketa dalam perkara ini berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian (kasus kontraktual) dan bukan terkait penggunaan atau kualitas dari objek pembiayaan, sehingga hal tersebut tidak termasuk dalam sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam UU Perlindungan Konsumen.

Meramu dari pendapat Penulis di atas, suatu sengketa pembiayaan masuk kategori sengketa perdata kontraktual dalam hal terjadi wanprestasi/lalai dalam melaksanakan kewajiban kontraktual. Sedangkan, sengketa konsumen hanya berkaitan dengan pelanggaran hak dan kewajiban konsumen maupun pelaku usaha seperti kualitas barang/jasa, kesesuaian informasi barang/jasa, dan sebagainya.

*)Jefferson Hakim, S.H., Analis Penuntutan (Calon Jaksa) pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait