Serikat Pekerja Menolak Kenaikan Harga BBM
Berita

Serikat Pekerja Menolak Kenaikan Harga BBM

Pemerintah dinilai dapat mencari alternatif lain sehingga harga BBM tidak naik.

ADY
Bacaan 2 Menit
Serikat Pekerja Menolak Kenaikan Harga BBM
Hukumonline

Serikat pekerja menolak kenaikan harga BBM yang direncanakan pemerintah. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Ikbal, dengan dicabutnya subsidi BBM, harganya akan naik dan menggerus daya beli pekerja. Menurutnya, pemerintah akan menaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp2 ribu per liter. Dengan besaran tersebut, Ikbal memperkirakan daya beli pekerja akan turun 30 persen dan inflasi bakal menyentuh dua digit. Pasalnya, kenaikan itu memberi dampak terhadap kenaikan harga barang kebutuhan lainnya seperti ongkos sewa rumah, transportasi, dan bahan makanan.

Jika dibandingkan kenaikan upah minimum tahun ini yang rata-rata sebesar 30 persen, Ikbal melanjutkan, tidak akan berarti apa-apa untuk menyejahterakan pekerja karena harga BBM ikut naik 30 persen. Sekalipun pemerintah menerbitkan kebijakan untuk menanggulangi dampak buruk kenaikan harga BBM misalnya dengan BLSM, Raskin dan lain sebagainya, bagi Ikbal hal tersebut tak bakal mampu menjaga daya beli masyarkat, khususnya pekerja.

Pasalnya, program bantuan itu ditujukan untuk rakyat miskin, bukan pekerja. Padahal, Ikbal melihat upah pekerja yang setara upah minimum atau di bawah itu berpotensi besar menjadi miskin karena naiknya barang kebutuhan hidup. “Kalau daya beli pekerja turun, siapa yang mau membantu? Makanya kita menolak kenaikan harga BBM,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (13/6).

Selain itu Ikbal menyebut serikat pekerja menyoroti ketidakjelasan kebijakan pemerintah dalam menyejahterakan rakyat. Misalnya, pemerintah belum berani memberikan jaminan kesehatan (Jamkes) bagi seluruh rakyat Indonesia, padahal hal itu merupakan amanat konstitusi. Namun, menjelang pelaksanaan BPJS Kesehatan tahun depan, alih-alih mewujudkan Jamkes untuk rakyat, pemerintah berencana untuk melaksanakannya secara bertahap sampai 2019.

Mengacu belum terjaminnya hak atas kesehatan, Ikbal melihat masyarakat menengah ke bawah termasuk pekerja akan semakin terpukul dengan kenaikan harga BBM. Oleh karenanya ia mengaku bingung kemana pemerintah akan mengalokasikan anggaran subsidi BBM sekitar Rp25 triliun yang ditarik tersebut. “Jalankan dulu Jamkes untuk seluruh rakyat baru harga BBM dinaikan,” tegasnya.

Tentang program bantuan untuk mengatasi dampak kenaikan harga BBM yang diterbitkan pemerintah, Ikbal mengatakan serikat pekerja menolaknya. Pasalnya, program itu bermuatan politik karena digulirkan menjelang Pemilu 2014. Ujungnya, program tersebut hanya menguntungkan parpol tertentu. Walau pemerintah berdalih program tersebut tidak ada kaitannya dengan pemenangan Pemilu. Serta ditujukan untuk kesejahteraan atau menjaga daya beli rakyat, bagi Ikbal alasan itu retorika belaka. “Itu kebohongan besar pemerintah, orientasinya pencitraan pemenangan partai tertentu,” tukasnya.

Ikbal menilai pemerintah mampu menerbitkan kebijakan lain untuk mengatasi defisit APBN selain mencabut subsidi BBM. Misalnya, menghentikan subsidi BBM untuk PLN. Pasalnya, dari anggaran subsidi sekitar Rp200 triliun, sebanyak Rp90 triliun dialokasikan untuk subsidi BBM di PLN. Padahal, serikat pekerja sudah memperingatkan pemerintah sejak dua tahun lalu agar subsidi itu dihapus. Sehingga, untuk memproduksi listrik, PLN bisa menggunakan batu bara atau gas sebagai bahan baku. Ironisnya, usulan itu sampai sekarang tidak digubris.

Untuk itu, Ikbal menegaskan serikat pekerja akan mengambil tindakan serius kepada pemerintah jika harga BBM dinaikan. Sebagai gerakan awal, 10 ribu pekerja akan berdemonstrasi di DPR ketika sidang paripurna berlangsung. Aksi itu tidak hanya dilakukan di Jakarta, tapi seluruh daerah di Indonesia dan secara serentak. Jika aksi tersebut tidak menyurutkan langkah pemerintah dan harga BBM tetap dinaikan, maka aksi besar-besaran akan dilakukan. Bahkan, serikat pekerja siap melakukan mogok nasional 16 Agustus 2013 saat Presiden SBY membacakan nota keuangan dan APBN.

Ikbal mengingatkan, ketika seluruh pimpinan serikat pekerja diundang Presiden SBY ke Istana Negara sebelum perayaan Mayday, serikat pekerja sudah menyatakan sikap menolak kenaikan harga BBM. Pasalnya, ada kebijakan alternatif yang bisa dijalankan pemerintah selain menaikan harga BBM. Namun, pada kesempatan itu Ikbal mendengar Presiden SBY akan tetap pada kebijakannya untuk mencabut subsidi BBM.

Terpisah, anggota Komisi IX fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka, mengatakan pemerintah mengelola APBN dengan buruk. Ujungnya, rakyat kena getahnya karena harga BBM terancam naik. Menurutnya, hal tersebut terungkap dari hasil pemeriksaan BPK terhadap laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) 2012 yang mendapat nilai wajar dengan pengecualian. Rieke melihat nilai itu menunjukan masalah dan potensi kerugian negara karena kebijakan pemerintah dinilai tidak sesuai standar akuntansi pemerintahan, lemah dalam pengendalian internal dan tidak patuh terhadap ketentuan perundang-undangan.

Rieke merasa sebagian hasil laporan BPK terhadap LKPP patut disorot tajam. Misalnya, penjualan kondesat bagian negara oleh PT TPPI tidak sesuai kontrak, potensi utang tidak tertagih sebesar Rp.1,35 triliun. Menurutnya, yang menjadi penyebab adalah BP Migras tidak patuh prosedur, pengelolaan dari penjualan dan penagihan kondesat oleh BP Migas tidak sesuai kontrak. Serta kementerian Keuangan tidak optimal.

Kemudian, dalam laporan itu Rieke melihat pemerintah membayar kenaikan kuota ke-14 atas keanggotaan Indonesia kepada IMF sebesar Rp.38,18 triliun. Rieke mengaku tidak mengetahui secara jelas dari mana pemerintah memperoleh dana tersebut. “Tidak melalui persetujuan di DPR,” katanya dalam rilis yang diterima hukumonline, Kamis (13/6).

Lalu, ada status pengelolaan keuangan SKK Migas yang belum jelas selama tahun 2012 dan menghabiskan biaya operasional Rp.1,60 triliun. Rieke juga menyebut ada temuan BPK yang menjelaskan beban subsidi energi yang belum dibayar pemerintah sebesar Rp32,10 triliun. Bahkan, Rieke melanjutkan, BPK berpendapat pemerintah belum punya kriteria yang jelas untuk memastikan subsidi energi tepat sasaran. Tidak ada pengembangan pengawasan distribusi BBM bersubsidi dan penetapan golongan pelanggan yang layak disubsidi.

Kejanggalan pengelolaan keuangan pemerintah menurut Rieke juga terjadi dalam penggunaan anggaran yang bersal dari penerimaan negara dari sektor hulu migas. Yaitu digunakan langsung tanpa mekanisme APBN, di tahun 2012 jumlahnya sekitar Rp340 triliun. Atas dasar itu, Rieke menyimpulkan kacaunya APBN bukan karena subsidi BBM, tapi buruknya pengelolaan keuangan pemerintah.

Tags: