Sewindu UU Bantuan Hukum, Ini 4 Saran dari YLBHI
Berita

Sewindu UU Bantuan Hukum, Ini 4 Saran dari YLBHI

Peraturan yang melegitimasi ketidakadilan tak sejalan dengan tujuan dan prinsip pemberian bantuan hukum.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

(Baca juga: 3 Catatan Perbaikan Refleksi Kasus Baiq Nuril).

Kedua, melakukan perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981) dengan fokus pada upaya meminimalisasi penyalahgunaan penegakan hukum. Upaya untuk merevisi KUHAP sebenarnya sudah lama digagas, tetapi Pemerintah dan DPR lebih memilih memprioritaskan pembahasan KUHP. YLBHI mendorong perubahan itu dilakukan terutama untuk mengurangi penyimpangan penegakan hukum, apalagi terhadap warga miskin yang berhadapan dengan hukum. Kalimat ‘hukum tajam ke bawah tumpul ke atas’ seharusnya memicu para penegak hukum untuk lebih profesional.

Pasal 2 UU Bantuan Hukum memuat asas ‘persamaan kedudukan di dalam hukum’ yang mengandung makna bahwa setiap orang mempunyai hak dan perlakuan yang sama di depan hukum serta kewajiban menjunjung tinggi hukum.

Ketiga, melakukan reformasi birokrasi penegakan hukum secara total dan sungguh-sungguh. Termasuk dalam konteks ini meningkatkan kapasitas aparat, memberantas korupsi peradilan, menghapuskan diskriminasi layanan hukum, melakukan pengawasan dan penghukuman perilaku aparat yang menyalahgunakan wewenangnya. Dalam praktiknya, masih ada aparat yang melakukan penyimpangan seperti penyiksaan atau kekerasan saat menggali informasi dari tersangka tindak pidana. Jika tersangkanya warga miskin dan jauh dari akses pemantauan, aparat penegak hukum acapkali bertindak sewenang-wenang.

Putusan Mahkamah Agung yang menghukum polisi pelaku penyiksaan dan institusi Polri untuk membayar ganti rugi kepada keluarga korban penyiksaan seharusnya menjadi cambuk untuk tidak lagi melakukan kekerasan saat penyelidikan atau penyidikan. Penanganan aksi demo yang menentang sejumlah perundang-undangan kontroversial beberapa waktu lalu dapat dijadikan contoh. Hingga kini tak diketahui siapa pelaku penembakan yang menewaskan dua orang mahasiswa peserta demo di Kendari. Beberapa anggota kepolisian yang membawa senjata api hanya dibawa ke sidang disiplin.

(Baca juga: Putusan MA Sudah Jelas, Pelaku Penyiksaan Harusnya Ditindak).

Korupsi peradilan dalam arti luas juga menjadi tantangan dalam pemberian bantuan hukum. Korupsi dapat mendorong pelayanan hukum yang diskriminatif. Orang-orang miskin yang tak dapat menyediakan uang dan malah dibantu secara probono sulit mendapatkan pelayanan yang baik jika aparat sejak penyidikan sampai pemeriksaan di muka persidangan mendasarkan pelayanan pada pemberian uang ‘tips’. Jika pelayanan kepada masyarakat didasarkan pada uang tambahan yang dapat diperoleh aparat penegak hukum, maka orang miskin akan berada pada antrian terakhir, bahkan mungkin keluar dari barisan antrian. “Pembayaran tertentu membuat orang didahulukan,” kata Asfinati kepada hukumonline.  

Keempat, mengembangkan kebijakan bantuan hukum yang dapat mengakomodasi kegiatan-kegiatan bantuan hukum untuk perubahan peraturan perundang-undangan dan reformasi birokrasi. Saat ini, puluhan daerah kabupaten/kota sudah mengatur bantuan hukum dan menyediakan anggaran bantuan hukum dalam APBD. YLBHI memandang kegiatan-kegiatan bantuan hukum menjadi materi muatan penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dan reformasi birokrasi. Bantuan hukum justru dapat mencegah ketidakadilan dalam implementasi peraturan dan kebijakan.

Peraturan dan kebijakan yang melegitimasi ketidakadilan justru tak sejalan dengan tujuan dan prinsip penyelenggaraan bantuan hukum. Adapun tujuan penyelenggaraan bantuan hukum menurut UU No. 16 Tahun 2011 adalah menjamin dan memenuhi hak bagi penerima bantuan hukum untuk mendapatkan akses keadilan; mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai prinsip persamaan di hadapan hukum; menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum; dan mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Tags:

Berita Terkait