Siasat Menjerat Manusia Koruptor
Kolom

Siasat Menjerat Manusia Koruptor

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah, jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum kecuali kaum itu sendiri mengubahnya. (Dikutip dari puisi “Negeri Para Bedebah” karya Adi Massardi).

Bacaan 2 Menit

 

Instrumen hukum semata tentu tak memadai untuk memahami segala tindak-tanduk manusia koruptor karena: pertama, ilmu hukum bertolak dari asumsi dasar tentang manusia sebagai makhluk yang menaati aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang berlaku dalam komunitas politik tertentu sementara manusia koruptor jelas-jelas ia menistakan hukum; kedua, terlalu menekankan supremasi hukum di tengah situasi skeptis pada penegak hukum dapat berdampak pada tiadanya kepastian hukum dan hanya akan melahirkan “ketidakadilan struktural.”

 

Ketidakadilan struktural yang penulis maksudkan ialah hukum yang sedari awal diformulasikan sekadar “setajam sayatan silet” pada mereka yang lemah dan papa seperti nenek Minah, Prita, dua janda veteran (Soetarti Soekarno dan Roesmini), dan lainnya tetapi sangat tumpul pada  mereka yang amat kuat, tamak, dan berkuasa secara politik dan ekonomi. Padahal, praktik ketidakadilan struktural, jika terus-menerus dibiarkan akan berdampak buruk pada kinerja pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu II yang tengah gigih mempromosikan tata-kelola pemerintahan yang baik (good governance). Tanpa upaya serius memecahkan masalah ketidakadilan struktural, good governance lebih menyerupai lamunan dari pada kerja nyata.

 

Atas dasar itu sudah saatnya bidang hukum terutama dalam upaya mengendalikan praktik korupsi mulai membuka diri pada analisa-analisa yang diajukan disiplin ilmu lain yang memiliki orientasi sama dengan ilmu hukum seperti analisa-analisa filsafat umumnya dan ilmu-ilmu sosial (ilmu politik, budaya, linguistik, dan ekonomi) khususnya.

 

Analisis filsafat yang berpedoman pada pemikiran sistematis, kritis, dan radikal (radix=mengakar) berguna untuk, di satu sisi, memahami hakikat homo corrupticus, dan di sisi lain, mengetahui logika atau cara berpikir yang kerap diperlihatkan manusia koruptor; ilmu politik akan menyingkapkan hubungan praktik korupsi dengan jejaring kekuasaan yang berlaku dalam suatu rezim; ilmu ekonomi berperan penting untuk mengidentifikasi motif-motif ekonomis yang mendorong seseorang bertindak koruptif; ilmu budaya dapat mengurai segi-segi perbedaan budaya latar (background culture, meminjam istilah John Rawls) tertentu dalam mempersepsi praktik korupsi; ilmu lingusitik dapat menganalisa bahasa-bahasa hukum yang di dalamnya melekat potensi pengaburan definisi yang dapat dijadikan amunisi oleh koruptor dalam melakukan serangan balasan.

 

Pendeknya, pemberantasan korupsi haruslah bersifat menyeluruh, tidak parsial, dengan mengintegrasikan masukan-masukan dari disiplin keilmuan lain demi tercapainya, meminjam ungkapan mendiang Satjipto Rahardjo (2008 : 135), “konstitusi total yang ingin disebut ‘Orde Hukum Anti-korupsi.” Selain itu diperlukan cara-cara pendekatan khusus dan penanganannya oleh lembaga khusus pula seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mempunyai tugas untuk koordinasi dan supervisi dengan instansi penegak hukum lainnya (Polri dan Kejaksaan) dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

 

Tipikal Korupsi di Indonesia

Bertolak dari pemahaman tentang manusia koruptor, dalam konteks Indonesia, korupsi tidak saja telah menjadi gaya hidup dalam arti tidak korupsi berarti tidak gaya dan tidak gaul melainkan korupsi telah menjadi pilihan hidup; tanpa pernah melakukan korupsi orang dikesankan bukan bagian resmi warga negara Indonesia. Karena itu tidak mengherankan jika lembaga konsultan terkemuka yang bermarkas di Hongkong, “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC), yang melansir datanya pada hari Senin, 8 Maret 2010, menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia Pasifik.

 

Korupsi di Indonesia sudah sedemikian akut. Praktek korupsi tidak saja dilakukan elit politik yang ada di lembaga Legislatif di Senayan, pejabat publik di lembaga Eksekutif dan Yudikatif tapi juga oleh pejabat rendahan di desa-desa. Terlalu banyak praktik korupsi untuk disebutkan. Dari beberapa kasus yang ditangani KPK sepanjang tahun 2004 hingga 2008 kita dapat mengenali bidang-bidang apa saja yang rawan terjangkit korupsi. Pertama, pengadaan  barang dan jasa publik. Pengadaan barang dan jasa merupakan sektor paling rawan korupsi. Hal ini bisa terjadi karena kegiatan pengadaan barang dan jasa sangat minim pengawasan. Pengadaan barang dan jasa biasanya dilakukan pejabat dengan pihak-pihak yang memiliki kedekatan dengan pejabat yang berkepentingan dengan barang dan jasa yang akan dibeli.

Tags: