Siasat Menjerat Manusia Koruptor
Kolom

Siasat Menjerat Manusia Koruptor

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah, jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum kecuali kaum itu sendiri mengubahnya. (Dikutip dari puisi “Negeri Para Bedebah” karya Adi Massardi).

Bacaan 2 Menit

 

Sistem beban pembuktian terbalik termuat pula dalam Konvensi PBB Anti korupsi (disahkan menjadi UU No. 7 Tahun 2006) Pasal 31 ayat (8) yang menyebutkan bahwa negara-negara peserta konvensi dapat mempertimbangkan kemungkinan untuk mewajibkan seorang pelanggar menerangkan sumber yang sah atas hasil-hasil yang diduga berasal dari tindak pidana. Dan pada Pasal 31 ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap Negara Peserta wajib mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk melakukan indentifikasi, pelacakan, pembekuan atau perampasan semua hal yang berasal dari tindak pidana korupsi.

 

Dari Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 dan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, konsekuensi logis penerapan asas “pembuktian terbalik” yang bersifat murni atau mutlak, asas yang dipergunakan adalah asas praduga bersalah (presumption of guilt), berarti seseorang dianggap bersalah telah melakukan suatu tindak pidana korupsi sampai dengan yang bersangkutan dapat membuktikan dirinya tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, secara teoritis jikalau memang diterapkan asas pembuktian terbalik yang bersifat murni atau mutlak, di sini tidak diperlukan atau diwajibkan Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

 

Dalam pelaksanaannya, praktik pembuktian terbalik memerlukan bukti permulaan yang cukup kuat yang menyatakan bahwa terdakwa diindikasikan telah melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini dibuat demi memperkecil kesempatan tersangka atau terdakwa untuk membuktikan yang sebaliknya, yaitu bahwa ia tidak bersalah. Pembuktian terbalik tentu tidak melanggar asas praduga tidak bersalah sepanjang dilakukan dengan mengedepankan prinsip kebenaran dan keadilan. Artinya kebenaran dan keadilan menjadi prinsip atau asas tertinggi (meta prinsip atau meta teori) dalam mengungkap dan menyelesaikan kasus, sehingga bila ada pertentangan antara satu prinsip atau asas dengan prinsip atau asas lainnya (disagreement about principles of law) maka prinsip atau asas kebenaran dan keadilan yang harus diutamakan. Dengan kata lain, demi kebenaran dan keadilan maka kita dapat menerapkan pembuktian terbalik sehingga tidak ada yang merasa dilanggar hak asasinya, karena bukankah kalau terperiksa dapat membuktikan bahwa harta kekayaannya tidak diperoleh dari korupsi maka proses hukum terhadap dirinya harus dihentikan? Bukankah peraturan hukum kita telah dengan terang benderang menyatakan seperti demikian? Artinya secara aturan (rules) sebenarnya negara kita sudah mempunyai aturan perundang-undangan yang sudah sudah cukup baik.

 

Namun demikian tetap harus diperhatikan, semakin canggih aturan-aturan yang mengupayakan pengendalian praktik korupsi semakin lihai para koruptor mencari dan memanfaatkan celah untuk bersembunyi di balik tirai institusi-institusi hukum yang sebetulnya diidealkan menjaga kedaulatan hukum. Koruptor barangkali terinspirasi oleh sebait puisi penyair Jerman Friedrich Hölderlin (Santner, 1990 : 245), “Tapi, dimana ada bahaya mengancam, perlindungan juga muncul darinya” (But where danger threatens that which saves from it also grows). Dengan kata lain, para koruptor bahkan akan menggunakan hukum untuk membebaskan diri dari jerat hukum.

 

Lebih mencemaskan lagi tanpa kita sadari kita sebenarnya telah memberi tempat yang kondusif bagi para koruptor. Yaitu ketika kesadaran kita mulai berkurang terhadap perilaku dan logika koruptif yang ada di sekitar kita, bahkan di dalam diri kita sendiri yang di mulai di dalam pikiran, kemudian mewujud dalam ucapan dan tindakan kita  sehari-hari. Saya jadi teringat bait puisi Hölderlin yang lain yang menyatakan, “Tempat yang paling berbahaya adalah tempat yang paling aman.” (Ibid.: 245)

 

Jika kebebalan moral ini terus dibiarkan maka selain akan meremukkan keutuhan bangsa Indonesia dari dalam juga akan berdampak pada semakin terinternalisasinya nilai-nilai koruptif ke dalam kesadaran warga negara, membentuk apa yang diistilahkan pemikir Noam Chomsky (2006 : 2) sebagai “ide-ide bawaan” dan “struktur-struktur bawaan” yang kelak menentukan kodrat manusia. Dampak mendalamnya pandangan yang menyebutkan bahwa manusia pada hakikatnya suci, murni, dan tak berdosa saat terlahir ke dunia patut disangsikan keabsahannya.

 

Dalam situasi sosial yang pekat praktik korupsi siasat yang harus ditempuh ialah mempercepat proses demokratisasi secara luas dan mendalam. Lebih kongkritnya, dalam konteks pemberantasan korupsi  langkah-langkah yang ditempuh mencakup  beberapa langkah. Pertama, aturan-aturan hukum harus sekaligus memuat unsur-unsur penghukuman sekeras-kerasnya, misalnya dengan menjatuhkan hukuman mati bagi para pelaku yang terbukti secara sah dan meyakinkan di mata hukum telah melakukan korupsi. Cara ini terbukti efektif untuk menurunkan tingkat kasus korupsi di negara Republik China. Sebagai catatan ketika korupsi tak lagi mencapai tingkat paling akut maka pasal dalam undang-undang korupsi yang mengatur hukuman mati dapat dicabut (diamandemen).

Tags: