Siasat Menjerat Manusia Koruptor
Kolom

Siasat Menjerat Manusia Koruptor

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah, jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum kecuali kaum itu sendiri mengubahnya. (Dikutip dari puisi “Negeri Para Bedebah” karya Adi Massardi).

Bacaan 2 Menit

 

Kedua, mencegah terjadinya perkembangbiakkan praktik korupsi di tingkat institusi pemerintah maupun warga. Ketiga, bahu membahu membangun persekutuan bersih di antara kekuatan-kekuatan anti korupsi baik di tingkat badan-badan pemerintah seperti Polisi, Jaksa, KPK, PPATK, dan BPK yang tercermin pada kebijakan-kebijakan publik yang diterbitkan satu-sama lain saling mendukung dan tidak saling menegasikan. Aliansi juga dapat dilakukan dengan merangkul kekuatan-kekuatan civil society (LSM-LSM, media massa baik cetak maupun elektronik) yang bersih.

 

Keempat menghentikan bualan-bualan politik atau retorika politik karena hal itu, setidaknya menurut Jeremy Pope adalah bagian integral dari tetap berlangsungnya praktik-praktik korupsi, dan segera menggantinya dengan kerja nyata di lapangan dengan semangat menyesuaikan pernyataan dengan kenyataan. Konkretnya, jika presiden memiliki komitmen memimpin jihad melawan korupsi, segeralah praktikkan di lapangan. Pimpinlah segera! Jangan sampai citra presiden yang semula dikesankan sebagai pemimpin gerakan anti korupsi menjelma menjadi raja diraja bagi manusia koruptor.

 

Penutup   

Dalam konteks Kupang, daerah yang disebut-sebut menduduki peringkat paling korup versi Transparency International (2008), tanah leluhur penulis, penulis berkeyakinan bahwa korupsi akan dapat diberantas di daerah tersebut khususnya (dan Indonesia umumnya) dengan syarat memerhatikan butir-butir siasat menjerat manusia koruptor seperti telah diulas di atas dan di saat bersamaan memberikan perhatian pada kearifan-kearifan lokal di sana, yang terkenal dengan para penduduknya memiliki karakter asli yang ramah, lugu, jujur, memiliki daya tahan hidup luar biasa, apa adanya, berintegritas, dan tak pernah berkeluh kesah sebagaimana sedikit banyak tercermin dari renungan penulis di bagian awal tulisan ini. Suatu karakter yang jelas-jelas bertolak belakang dengan ciri-ciri yang ditampilkan manusia koruptor.

 

Terkait dengan serangan balik para koruptor, baik jika dalam rangka berperang melawan mereka kita renungkan pendapat Lord Acton (John Girling, 1997 : 2) seorang sejarawan Inggris. “Kekuasaan”, kata Acton, “cenderung korup. Kekuasaan yang absolut mengkorupsi secara absolut.” Bila gagasan Acton belum dirasakan cukup maka kita renungkan petuah Sun Tzu pengarang The Art of War berikut (Michaelson, 2007 : 6),

 

“Serbu musuh ketika mereka dalam keadaan kacau. Jika mereka dalam keadaan siap siaga, lipat-gandakan kewaspadaan melawannya. Jika mereka tangguh, mengelaklah. Jika mereka dikuasai kemarahan, berusahalah merendahkannya. Jika mereka tampak rendah hati, buatlah sombong. Jika mereka baru mengumpulkan tenaga, letihkanlah. Jika mereka bersatu pecah-belahlah!”

 

Serangan balik yang dilancarkan para koruptor berlangsung efektif dan efisien karena pemegang tampuk kekuasaan (presiden) terkesan memberi keleluasaan dan restu bagi koruptor untuk dapat bertindak sesuka hatinya. Pemberantasan korupsi hanya akan menjadi sebuah dagelan politik  bila presiden selalu menempatkan keragu-raguan sebagai panglima. Sebaliknya, bila presiden dan para penegak hukum benar-benar memiliki integritas dan ketegasan, hanya dengan berbekal aturan-aturan maupun undang-undang anti-korupsi yang sudah ada dan relatif baik seperti yang berlaku sekarang, menerapkan siasat ala Sun Tzu dan mengutamakan keadilan praktik kotor korupsi akan cepat dapat diberantas.

 

Mengapa adil? Karena seperti ditegaskan Gustav Radbruch: “hukum bisa saja tidak adil, tapi hukum hanyalah hukum karena maunya adil.” Keadilan dan hukum tidak bisa dipisahkan. Hanya melalui hukum keadilan yang abstrak, keadilan yang semula hanya berupa cita-cita moral, menjadi kenyataan. Sementara hukum sendiri harus senantiasa dibimbing oleh keadilan sehingga hukum tidak menjadi alat yang justru berlawanan dengan keadilan (lihat Suseno, 1999 : 102).   

 

Semoga sumbang-saran ini dapat membantu mewujudkan manusia-manusia Indonesia anti para bedebah dan para biadab manusia koruptor. Indonesia yang baru, bersih, dan mumpuni sehingga mampu mengembalikan harkat, martabat, dan kedaulatan bangsa  Indonesia. Terakhir, karena penekanan yang diberikan dalam tulisan ini berpusat pada faktor manusia maka perang terhadap korupsi pertama-tama dan terutama adalah perang terhadap diri sendiri.

 

--------------

*) Penulis adalah advokat di Bello & Parters Jakarta dan dosen Pasca Sarjana Filsafat Hukum di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta. Tulisan ini awalnya adalah makalah kompetensi yang dibuat untuk mengikuti seleksi calon pimpinan KPK 2010.

 

 

Daftar Rujukan

 

Chomsky, Noam dan Foucault, Michel. The Comsky-Foucault Debate On Human Nature, The New Press, New York, 2006

 

Girling, John. Corruption, Capitalism, and Democracy, Roultedge Studies in Social and Political Thought, Routledge, London, 1997.

 

Michaelson, Steven W. Sun Tzu for Execution: How to Use The Art of War to Get Results, Adams Business, Avon,  2007.

 

Pope, Jeremy. Strategi Memberantas Korupsi; Elemen Sistem Integritas Nasional. Transparency Internasional Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, 2007.

 

Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, 2008.

 

Santner,  Eric L. (ed). Friedrich Hölderlin, Hyperion and Selected Poems, The Continuum Publishing Company, New York, 1990

 

Suseno, Franz Magnis. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta, 1999.

 

Tags: