Siasat Notaris Menghindar dari Proses Hukum
Kolom

Siasat Notaris Menghindar dari Proses Hukum

​​​​​​​Ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris seolah menjadi benteng agar dapat menghindar untuk dimintai keterangan dari pemanggilan penyidik, penuntut umum maupun hakim dalam menindaklanjuti penanganan perkara.

Bacaan 2 Menit

 

Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan 5 persyaratan yang harus dipenuhi pemohon. Pertama, adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. Kedua, bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu UU yang diuji.

 

Ketiga, bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Keempat,  adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji. Kelima, adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

 

Melihat penjelasan legal standing di atas, maka dapat dipahami pertimbangan MK dalam menolak permohonan Advokat Tomson Situmeang, dkk. Yakni, hak seorang advokat dijamin dan dilindungi dengan keberadaan Majelis Kehormatan Notaris. Khususnya ketika terdapat seorang warga negara Indonesia mengajukan permohonan untuk dapat dihadirkannya alat bukti, berupa fotokopi minuta akta, maupun notaris. Boleh jadi advokat berada diposisi sebagai kuasa hukum untuk melindungi notaris yang sedang berhadapan dengan masalah hukum. Sehingga  menggunakan payung hukum yaitu pasal 66 ayat (1).

 

Di sisi lain, MK memandang Kant Kamal pemohon uji materi Pasal 66 ayat (1) UU 30/2004  memiliki legal standing. Walhasil permohonannya pun dikabulkan MK melalui putusan No.49/PUU-X/2012 tanggal 28 Mei 2013. Pemohon merasa dirugikan hak konstitusinya terkait laporan pemalsuan akta otentik oleh Notaris di Cianjur sebagaimana diatur dalam Pasal 266 KUHP. Dalam perjalanan proses laporannya, ternyata mengalami kendala untuk ditindaklanjuti oleh penyidik. Ujungnya, penyidik mengalami kendala dalam menyelesaikan perkara tersebut. Sebab pemeriksaan terhadap notaris untuk didengar keterangannya mesti mendapat persetujuan dan Majelis Pengawas Daerah.

 

Sedangkan pemohon potensial yang memiliki legal standing mengajukan uji materi Pasal 66 ayat (1) UU 2/2014, selain warga negara yang merasa dirugikan akibat perkaranya tidak dapat ditindaklanjuti lantaran masalah penolakan izin dari Mahkamah Kehormatan Notaris. Selain itu, penyidik, penuntut umum dan hakim yang bakal menindaklanjuti laporan atau perkara mengalami kerugian langsung. Sebab dalam menjalankan tugasnya menangani perkara terhambat akibat perijinan dalam memproses kelanjutan penanganan perkara.

 

Namun begitu, sekalipun tanpa permohonan uji materi seyogianya penyidik, penuntut umum maupun hakim tak perlu menggubris Pasal 66 ayat (1) UU 2/2014. Sebabnya, substansi perizinan yang diatur dalam UU tersebut telah dicabut melalui putusan MK No: 49/PUU-X/2012 tanggal 28 Mei 2013.

 

Terlebih, dalam Pasal 21 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 22 UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan telah mengatur tentang pidana. Yakni, setiap orang yang menghalang-halangi dan atau menggagalkan penyelidikan, penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di persidangan pengadilan.

Tags:

Berita Terkait