Sidang Perkara Ini Berkali-Kali Tertunda
Utama

Sidang Perkara Ini Berkali-Kali Tertunda

Beragam alasan membuat sidang gugatan warga atas kontrak swastanisasi air tertunda. Padahal sidangnya sudah bergulir sejak November 2013.

Oleh:
FITRI NOVIA HERIANI
Bacaan 2 Menit
Gedung PN Jakpus. Foto: Sgp
Gedung PN Jakpus. Foto: Sgp
Asas peradilan cepat, murah, dan sederhana acapkali hanya jargon; asas yang tertulis di atas kertas. Harusnya sidang berlangsung tak berlarut-larut, nyatanya lebih dari stahun. Sidang perkara gugatan warga atas kontrak swastanisasi air di Jakarta bisa dijadikan contoh nyata. Bayangkan, sampai UU Sumber Daya Air dibatalkan Mahkamah Konstitusi, perkara gugatan warga Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) belum juga putus di PN Jakarta Pusat.

Bermacam-macam penyebab sidang perkara ini tertunda, dan penundaannya berlama-lama. Kadang karena tergugat tak datang. Tetapi tiga kali penundaan terakhir benar-benar menjadi tantangan terhadap asas sidang cepat. Seyogianya putusan dibacakan 10 Januari 2015. Dengan alasan membuka mediasi kembali kepada para pihak, hakim menunda satu bulan, hingga 10 Februari . Pertemuan para pihak sudah nyaris menghasilkan perdamaian (acta van dading).

Tiba 10 Februari 2015, lagi-sidang ditunda sebulan hingga 10 Maret. Begitu kalender menunjukkan 10 Maret 2015, sidang kembali ditunda hingga 24 Maret. Kali ini majelis beralasan softcopy berkas yang diserahkan ternyata tidak sama dengan hardcopy.

Di tengah-tengah proses penundaan itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA). Undang-Undang ini dianggap belum menjamin pembatasan pengelolaan air oleh pihak swasta, sehingga dinilai bertentangan UUD 1945.

Pembatalan ini bisa menimbulkan masalah kepada para pihak jika argumentasi mereka selama ini didasarkan pada UU SDA 2004. Hakim juga akan menghadapi problem serupa ketika menyusun putusan. Masih bisakah hakim menjadikan UU SDA sebagai rujukan?  

Satu hal yang pasti hakim sudah menunda berkali-kali persidangan. “Sidang putusan akan dibacakan dua minggu ke depan, tangga 24 Maret,” tegas ketua majelis hakim PN Jakarta Pusat, Iim Nurokhim.

Kuasa Hukum KMMSAJ, Arif Maulana, tak bisa menyembunyikan kekesalannya atas penundaan sidang berkali-kali. Pembacaan putusan seharusnya tak tertunda berkali-kali.  “Tapi faktanya di kasus ini tidak terjadi,” ujarnya.

Pengacara dari LBH Jakarta ini berharap penundaan sidang tidak dijadikan alat untuk bermain di luar koridor hukum dan keadilan. “Harapan saya hakim tetap dapat  memutus secara independen dan tidak terpengaruh pihak manapun atau apapun, dan bisa memutus berlandaskan dengan konstitusi,” tuturnya.

Hambatan
Majelis hakim memang memberikan kesempatan kepada para pihak, penggugat dan tergugat, untuk melakukan mediasi. Pada pertemuan  Februari lalu bahkan sudah ada kesepakatan yang hendak dibawa ke Gubernur DKI Jakarta. Tetapi karena kesepakatan awal berubah saat dibawa ke staf Gubernur, akhirnya acta van dading urung dibuat dan ditandatangani.

Penggugat dan tergugat gagal mediasi, kuncinya tinggal di tangan majelis hakim. Hakim menggunakan kegagalan mediasi itu sebagai dalih menunda sidang. Yang terakhir, baru karena hambatan berkas.

Ketua majelis hakim Iim Nurokhim menyatakan ada ketidaksesuaian berkas jawaban yang diperoleh oleh majelis. “Sebenarnya kami (majelis) sudah akan menyusun putusan pada Jumat lalu, tapi ada hambatan,” ungkap Iim.

Berdasarkan berkas jawaban selama persidangan yang diperoleh oleh majelis, softcopy jawaban dan hardcopy jawaban (tertulis) tidak terdapat kesesuaian. Ketidakssesuaian tersebut membuat majelis sulit untuk memberikan pertimbangan terkait putusan. Untuk itu, majelis meminta semua pihak untuk memberikan softcopy jawaban sesuai dengan jawaban yang tertulis. “Tolong sampaikan softcopy jawaban yang sudah benar sesuai yang tertulis selambat-lambatnya tiga hari,” jelas Iim.

Menunggu putusan
Seharusnya para pihak sudah menyerahkan dokumen yang diminta majelis. Kini mereka menunggu dan membayangkan bagaimana akhir perjalanan gugatan itu di PN Jakarta Pusat.

Arif berharap putusan MK dapat menjadi pertimbangan majelis untuk memutus perkara swastanisasi air ini. Pasalnya, putusan MK tersebut secara langsung sudah menegaskan bahwa pengelolaan air diserahkan kepada negara, bukan swasta. “Putusan majelis harus merujuk kepada putusan ini (MK) dan memastikan bahwa memang negara yang harus mengelola air karena menyangkut hajat hidup orang banyak,” ungkapnya.

Sementara yang terjadi saat ini, lanjut Arif, kewenangan pengelolaan dan pendistribusian air berada di tangan swasta, yakni Pam Lyonnaise Jaya (Palyja) dan Aetra Air. Putusan MK tersebut kemudian memberikan pembatasan-pembatasan yang ketat dalam pengelolaan air oleh swasta. “Kalaupun ada sisa baru kemudian swasta bisa diberikan hak pengelolaan , itupun sangat sulit,” tandasnya.

Kuasa hukum tergugat (Gubernur DKI Jakarta), Haratua Purba, berkata menyerahkan semua putusan kepada majelis hakim. Upaya mediasi dengan penggugat gagal alias tidak mencapai kata sepakat. “Kami serahkan kepada majelis hakim saja karena perdamaian sudah deadlock,”  katanya usai persidangan. Tergugat lain adalah Presiden, Wakil Presiden, DPRD DKI Jakarta, Menteri Keuangan, dan PDAM.

Apakah sidang pembacaan putusan 24 Maret mendatang akan tertunda lagi?
Tags:

Berita Terkait