Sikap Komnas Perempuan atas Putusan MK Perkawinan Beda Agama
Terbaru

Sikap Komnas Perempuan atas Putusan MK Perkawinan Beda Agama

MK dianggap mengabaikan realitas perkawinan beda agama di Indonesia dan penyelundupan hukum yang dilakukan agar perkawinan dapat dicatat. Perempuan mengalami stigma lebih, dibandingkan laki-laki ketika memilih melakukan pernikahan beda agama.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Bagi Andy, Asumsi itu hanya mengutip pernyataan satu kelompok dan mengabaikan pandangan kelomok-kelompok lain. Termasuk mengabaikan tafsir keagamaan yang membolehkan perkawinan agama, karena yang dirujuk MK hanya tafsir keagamaan mayoritas. Dia menyayangkan MK tidak mempertimbangkan pandangan Komnas Perempuan yang telah memberikan keterangan secara tertulis secara resmi kepada MK.

“Komnas Perempuan menyayangkan ketiadaan pertimbangan hambatan administrasi perkawinan bagi perempuan yang menikah beda agama dengan pasangannya,” ujarnya.

Dia melanjutkan, frasa ‘membentuk keluarga’ sebagaimana Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 merupakan bentuk realisasi atau pelaksanaan dari ‘setiap orang berhak’ dan tindakan ‘membentuk keluarga’ adalah kehendak bebas (free consent) warga negara sebagai pemegang hak dasar (right holder) yang masuk hukum privat atau keperdataan.

Baginya, kehadiran hukum negara dalam proses ‘membentuk keluarga’ bersifat komplemen dan pada posisi bertindak secara pasif untuk menghormati terhadap hak sipil kewarganegaraan. Sekalipun tidak ada pelarangan secara eksplisit terhadap pihak-pihak untuk melakukan perkawinan antar agama, namun intepretasi agama mempengaruhi cara bekerja dari aparatur negara untuk membatasi perkawinan beda agama.

Komnas Perempuan berpendapat, perkawinan beda agama juga berkaitan dengan hak dasar kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi. Andy mengingatkan,  perempuan mengalami stigma lebih, dibandingkan laki-laki ketika memilih melakukan pernikahan beda agama.

Pengaduan ke Komnas Perempuan menunjukan perempuan yang menikah beda agama dianggap melakukan zina, perempuan sebagai anak diusir dari rumahnya, dan rentan mengalami kekerasan dari keluarga. Kekerasan yang dilakukan oleh keluarga antara lain berbentuk memisahkan paksa perempuan dari pasangannya/suami dan anak-anaknya, kekerasan psikis dan ekonomi. Hal serupa dialami oleh perempuan penghayat yang melakukan perkawinan beda agama.

“Perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan dapat menimbulkan berbagai dampak sosial terhadap anak-anak yang dilahirkan,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait