Sikap Komnas Perempuan atas Putusan MK Perkawinan Beda Agama
Terbaru

Sikap Komnas Perempuan atas Putusan MK Perkawinan Beda Agama

MK dianggap mengabaikan realitas perkawinan beda agama di Indonesia dan penyelundupan hukum yang dilakukan agar perkawinan dapat dicatat. Perempuan mengalami stigma lebih, dibandingkan laki-laki ketika memilih melakukan pernikahan beda agama.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Rekomendasi

Dampak putusan 24/PUU-XX/2022 memposisikan perempuan dalam subordinat secara sosial dan tafsir keagamaan. Kondisi itu sangat diskriminatif dan menjadi penyebab kekerasan terhadap perempuan. Andy mencatat pertimbangan putusan MK itu mendorong 3 hal. Pertama, negara melegalkan kekerasan terhadap perempuan atas nama agama dan moralitas, termasuk untuk mempertahankan agama/keyakinannya.

Kedua, negara melegalkan kekerasan terhadap perempuan untuk melakukan perkawinan dan berkeluarga. Ketiga, negara melegalkan kekerasan terhadap anak, baik anak laki-laki maupun perempuan yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak ada kepastian hukum.

Andy mengingatkan, dalam sidang siklus IV Universal Periodic Review, Indonesia juga mendapat rekomendasi yang menyatakan pemerintah Indonesia perlu memastikan adanya kebijakan/perundang-undangan yang melindungi dari diskriminasi atau penindasan atas dasar etnisitas, agama, gender, orientasi seksual dan lain-lainya.

Komnas Perempuan merekomendasikan setidaknya 2 hal. Pertama, DPR dan Pemerintah perlu melakukan kajian lebih mendalam dan kompheresif tentang realita perkawinan beda agama serta dampak berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Perlu membangun dialog konstruktif dengan melibatkan banyak pihak termasuk para perempuan yang mengalami hambatan administrasi perkawinan karena berbeda agama, sehingga dapat memberikan perlindungan kepada semua warga negara.

Kedua, merekomendasikan MK untuk mempertimbangkan saran dan masukan dan Lembaga Negara HAM (Komnas HAM, Komnas Perempuan,KPAI dan KND). Deengan memanggil sebagai pihak terkait dan/atau ahli untuk kasus-kasus yang berkaitan erat dengan penghormatan, pelindungan dan  pemenuhan HAM khususnya perempuan.

Sebagaimana diketahui, MK kembali menolak seluruh pengujian Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 8 huruf f UU 1/1974  terkait permohonan keabsahan perkawinan beda agama. “Amar putusan, mengadilimenolak permohonan para pmohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan Nomor 24/PUU-XX/2022 di ruang sidang MK, Selasa (31/1/2023).

Permohonan ini diajukan oleh E. Ramos Petege yang merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam. Dalam Pertimbangannya, Mahkamah menyatakan keabsahan perkawinan merupakan domain agama melalui lembaga atau organisasi keagamaan yang berwenang atau memiliki otoritas memberi penafsiran keagamaan.

Peran negara menindaklanjuti hasil penafsiran yang diberikan oleh lembaga atau organisasi tersebut. Adapun mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan oleh institusi negara dalam rangka memberi kepastian dan ketertiban administrasi kependudukan sesuai semangat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam perkawinan terdapat kepentingan dan tanggung jawab agama dan negara saling berkait erat.

“Maka melalui Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, MK telah memberikan landasan konstitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat membacakan pertimbangan putusan

Tags:

Berita Terkait