Simak Penjelasan Hukum Perbedaan Hoaks dan Berita Bohong
Profil

Simak Penjelasan Hukum Perbedaan Hoaks dan Berita Bohong

Hoaks adalah informasi yang belum tentu benar dan disampaikan ke publik, tapi pelakunya tidak harus dipidana (kasuistis). Sementara berita bohong intinya menyiarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat, sehingga pelakunya dipidana.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Hukumonline Academy 13 bertajuk “Membedakan Hoaks dan Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong”, Kamis (14/10/2021). Foto: RES
Hukumonline Academy 13 bertajuk “Membedakan Hoaks dan Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong”, Kamis (14/10/2021). Foto: RES

Dalam beberapa tahun terakhir, kasus penyebaran informasi atau berita bohong (hoaks) masih marak ditemukan terutama di media sosial. Kementerian Informasi dan Informatika (Kominfo) mencatat hingga Rabu (13/10/2021) ada 355 kasus hoaks terkait vaksin Covid-19.

Sebagian besar informasi itu ditemukan dalam platform Facebook (2.055 sebaran); Twitter (108); Youtube (43); TikTok (21); dan Instagram (13). Sebelumnya, pada periode 2017 hingga per 22 Juni 2021, Kominfo telah memblokir 21.330 konten radikalisme terorisme yang tersebar di berbagai situs dan platform digital. 

Pengajar Hukum Pidana, Vidya Prahassacitta, mengatakan ada perbedaan antara hoaksdan tindak pidana berita bohong. Hoaks merupakan informasi yang disampaikan kepada publik, tapi belum dapat dipastikan kebenarannya. Misalnya, beberapa waktu lalu ada informasi yang menyebut minyak kayu putih dapat menangkal virus Covid-19.

Informasi itu masuk kategori hoaks karena belum tentu benar, tapi tidak lantas pelaku yang menyebarkan informasi itu bisa dipidana. Sebab, perlu dilihat juga sejauh mana informasi itu berdampak negatif dan merugikan orang lain.

Dia menilai selama ini Pemerintah dan Polri tak jarang menjerat para pelaku penyebaran hoaks bisa dijerat Pasal 45A ayat (1) UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).   

Vidya menilai Pasal 45A ayat (1) UU ITE ini juga mengatur berita bohong, tapi yang menimbulkan khusus kerugian konsumen. Aturan tersebut merupakan lex specialis dari pasal terkait penipuan konsumen yang diatur KUHP dan UU Perlindungan Konsumen. (Baca Juga: Pandangan 3 Dosen Hukum Pidana Terkait Polemik Donasi Keluarga Akidi Tio)

Pasal 45A ayat (1) UU 19 Tahun 2016 tentang ITE menyebutkan “Setiap orang yang sengaja menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik bisa dikenakan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar.” 

Sementara untuk berita bohong, Vidya mengatakan ketentuannya diatur dalam Pasal 14-15 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan itu pada intinya menyiarkan berita/informasi bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat. “Berita bohong yang mengganggu ketertiban publik ini yang bisa dipidana,” kata Vidya Prahassacitta dalam Hukumonline Academy 13 bertajuk “Membedakan Hoaks dan Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong”, Kamis (14/10/2021).

Pasal 14 UU 1/1946

  1. Barangsiapa dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.”
  2. Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.

Pasal 15 UU 1/1946

“Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.”

Menurutnya, dalam praktik penggunaan Pasal 45A ayat (1) UU ITE kerap membingungkan aparat penegak hukum. Misalnya, dalam kasus ibu yang membawa anjing ke masjid, pasal tersebut digunakan secara berlapis atau alternatif dengan Pasal 14-15 KUHP. Padahal ketentuan yang diterapkan itu tidak sesuai dengan konteks kasusnya.

“Karena ada pandangan dari aparat yang menilai UU ITE itu lex specialis dari KUHP. Jadi, jika kasusnya berkaitan dengan media elektronik menggunakan UU ITE,” ujar wanita yang tercatat sebagai pengajar Fakultas Humaniora Jurusan Business Law di Universitas Bina Nusantara ini.

Ada juga istilah baru yang kerap dikaitkan dengan hoaks atau berita bohong yakni prank. Vidya mencontohkan Pasal 14-15 KUHP digunakan untuk kasus dimana pelaku menelepon pemadam kebakaran seolah ada kebakaran di sebuah gedung.

Tindakan itu di negara lain, seperti Belanda, menyebutnya dengan istilah alarm palsu (false alarm). Tindakan itu bisa dipidana jika menimbulkan gejolak di masyarakat dan dapat menimbulkan korban jiwa. “Intinya apakah ada kerugian yang diderita masyarakat atau orang lain akibat tindakan itu?”

Dalam kasus sumbangan dana hibah senilai Rp2 triliun dari anak pengusaha Akidi Tio (Alm) untuk dana bantuan penanggulangan Covid-19 yang ternyata tidak terealisasi, Vidya menilai hal tersebut tidak tepat jika menggunakan Pasal 14-15 KUHP. Sebab, tidak menimbulkan keonaran di masyarakat. Maka dari itu, tak lama kemudian Polda Sumatera tidak melanjutkan kasus ini.

“Tapi untuk hoaks atau prank yang menyebut ada bom di pesawat, itu masuk kategori bentuk teror yang menimbulkan ketakutan,” jelasnya.

Menurutnya, sejumlah negara melakukan penanganan yang berbeda terhadap perkara hoaks atau berita bohong di internet. Ada negara yang melakukan tindakan dengan cara menurunkan konten tersebut (take down) dari internet. Jika pelaku masih mengulangi perbuatannya, maka dilakukan pembekuan akun.

“Jika pelaku masih mengulangi lagi dengan cara membuat akun baru, maka dilakukan penegakan hukum pidana karena dapat disimpulkan pelakunya punya tujuan jahat.”

Tags:

Berita Terkait