Simak! Tafsir MK Terhadap Ketentuan Pengampuan dalam KUHPerdata
Utama

Simak! Tafsir MK Terhadap Ketentuan Pengampuan dalam KUHPerdata

Perubahan makna Pasal 433 KUHPerdata mengandung makna bahwa pengadilan negeri dalam mengadili permohonan penetapan pengampuan mempunyai pilihan yang lebih leluasa manakala berhadapan dengan fakta hukum adanya disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual pada seseorang. MK menganggap lembaga pengampuan tetap diperlukan.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan mengabulkan sebagian pengujian materil Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Senin (31/7/2023) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang pengucapan putusan ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar dengan didampingi tujuh hakim konstitusi.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” ucap Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan MK No.93/PUU-XX/2022 di ruang MK, Senin (31/7/2023) seperti dikutip laman MK.

Sebelumnya, permohonan ini diajukan oleh Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA), Syaiful Anam, dan Nurhayati Ratna Saridewi. Pasal 433 KUHPerdata berbunyi, “Setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, bahkan ketika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya”.

Baca Juga:

Melalui kuasa hukum para pemohon, Anang Zubaidy, Pasal 433 KUHPerdata dianggap bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 berkaitan dengan pengakuan dan persamaan di hadapan hukum dan asas kepastian hukum yang adil. Sebabnya, Pasal 433 KUHPerdata tersebut menjadikan keadaan disabilitas dalam hal ini dungu, mata gelap sebagai alasan untuk menyangkal kapasitas hukum disabilitas mental. Sehingga yang bersangkutan tidak mendapatkan hak untuk diakui dan diperlakukan sama di hadapan hukum.

Padahal, Pasal 433 KUHPerdata sesungguhnya telah mengakui bahwa gangguan kejiwaan dapat bersifat episodic yakni dengan adanya pencantuman frasa “kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya”. Namun, Pasal 433 KUHPerdata menyamaratakan antara kondisi episodik dengan orang yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila, mata gelap dan atau keborosan. Padahal, tidak semua penyandang disabilitas mental memiliki gangguan psikis yang bersifat permanen. Sebagai contoh skizofrenia yang merupakan permasalahan kejiwaan yang episodic bukan menetap. Sifat episodic tersebut penyandang disabilitas mental tidak selalu berada dalam keadaan yang disebut tidak mampu berpikir atau berbuat rasional.

Untuk itu, dalam petitumnya, para pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 433 KUHPerdata tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “dungu, gila, mata gelap dan/atau keborosan” tidak dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait