Simak Yuk! Dosen-Dosen Hukum Tata Negara Bicara tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar
Fokus

Simak Yuk! Dosen-Dosen Hukum Tata Negara Bicara tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar

Kriteria yang jelas dan detil akan membantu daerah mengajukan permohonan penetapan PSBB.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

Ayu juga mengkritisi Pasal 3 PP karena tidak ada kriteria yang jelas mengenai jumlah kasus, atau berapa jumlah korban agar daerah dapat memohonkan PSBB. Kriteria ini menurutnya harus diperjelas, sehingga dalam menolak atau memberikan izin terdapat alasan yang sahih dan transparan mengapa sebuah izin diberikan atau mengapa dalam kasus lain tidak diberikan. Jika kriterinya tidak detail dan spesifik, ada potensi multitafsir di lapangan, yang dapat merugikan masyarakat. Ayu mencontohkan pembatasan yang dilakukan Papua yang membatasi penerbangan dan pelabuhan sebelum ada korban terindikasi Covid-19.

Ayu juga mengkritisi isi dari Keppres No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) Covid-19. Keppres tersebut hanya menetapkan isi darurat saja tanpa memberikan tenggat waktu sampai kapan keadaan darurat itu berakhir. “Sebuah status darurat, dalam hal ini darurat KKM harus dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Memang bisa diperpanjang, namun seharusnya pakai jangka waktu. Sayangnya keppres tidak menegaskan jangka waktu tersebut,” jelasnya.

(Baca juga: Dari Protokol Hingga Imbauan, Kenali Aneka Jenis Beleidsregel Terkait Covid-19).

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Agus Riewanto, berpendapat ketentuan agar Pemda meminta persetujuan penetapan PSBB dari Menteri Kesehatan tidak tepat, sebab seharusnya persetujuan itu datang dari kementerian/lembaga yang membidangi masalah keamanan dan ketertiban masyarakat. Sebab nantinya akan ada implikasi Pemda kesulitan melakukan PSBB dalam mobilitas orang dan barang. “Karena tidak memiliki instrumen kuat untuk menopang kewenangan tersebut, wibawa dan legitimasinya lemah serta tidak efektif,” ujarnya.

Mengenai persyaratan yang detil, Agus berpendapat jangan sampai syarat yang detil membuat pemerintah tidak dapat bergerak melakukan tindakan. “Tidak perlu menyebut spesifik jumlahnya karena akan mempersulit pemerintah sendiri karena terlalu terikat. Nanti kriteria spesifiknya ada dikewenangan Kemenkes sebagai bentuk diskresi.,” tuturnya.

Sementara terkait tidak adanya batas waktu dalam Keppres No. 11 Tahun 2020, ia menyatakan hal tersebut memang dilematis bagi pemerintah. Alasannya, pertama batas waktu dalam suatu keadaan darurat sebenarnya diperlukan agar tidak disalahgunakan pemerintah terutama berkaitan dengan penggunaan anggaran negara.

“Namun di sisi lain, jika dibatasi waktunya agak sulit juga bagi pemerintah krn secara umum pandemi Covid-19 ini oleh WHO sulit diprediksi. Karena itu pembatasannya ada pada kewenangan diskresi pemerintah yang penting sudah ada aturan tentang darurat sehingga dapat dijadikan aturan atau payung hukum dalam merancang kebijakan ketatanegaraan darurat (staatsnoodrecht),” jelasnya.

Kriteria longgar

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang, Charles Simabura berpendapat seharusnya PSBB ditetapkan oleh presiden, bukan selevel menteri seperti yang diamanatkan UU Karantina Kesehatan. Apalagi penetapan PSBB ini sudah berskala besar dan multisektoral serta bisa mencakup seluruh wilayah di Indonesia. Selain itu juga akan timbul kekhawatiran adanya bentrokan antar sesama lembaga/kementerian jika PSBB hanya ditetapkan oleh Menteri.

Tags:

Berita Terkait