Simsalabim Pengadaan Toilet VVIP
Berita

Simsalabim Pengadaan Toilet VVIP

Nama perusahaan dalam perjanjian sempat diubah.

MYS
Bacaan 2 Menit
Simsalabim Pengadaan Toilet VVIP
Hukumonline
Pengadilan Tipikor Jakarta kembali menyidangkan dugaan korupsi pengadaan mobil bus toilet very-very important person (VVIP) yang mendudukkan mantan Kepala Dinas (Kadis) Kebersihan DKI Jakarta, Eko Baruno, dan seorang pengusaha, Yolanda, di kursi terdakwa.

Dalam sidang yang berlangsung Selasa (06/5), jaksa penuntut umum menghadirkan enam orang saksi, termasuk panitia pengadaan, tim pendamping panitia pengadaan, dan pengusaha karoseri yang mengubah mobil menjadi bus toilet.

Keterangan para saksi dalam persidangan semakin membuat terang simsalabim proyek beranggaran sekitar 4,8 miliar rupiah itu. Tak satu pun saksi yang mengetahui siapa yang membuat Harga Perkiraan Sementara (HPS). Leni Marlena, anggota panitia pengadaan awalnya menyebut tim pendampinglah yang menyusun HPS, sedangkan saksi Lasmadi (anggota tim pendamping) menyebut tim panitia pengadaanlah yang menyusun HPS. Tetapi setelah dikonfrontasi ulang, tak satu pun saksi yang secara faktual siapa yang menyusun HPS.

Empat dari enam saksi yang dihadirkan adalah pegawai atau pensiunan pegawai Dinas Kebersihan Pemda DKI yang ikut dalam pengadaan mobil bus toilet. Ironisnya, keempat saksi tak pernah ikut melakukan verifikasi atau validasi dokumen-dokumen perusahaan yang ikut tender. Padahal nama mereka tercantum dalam surat keputusan tentang susunan panitia pengadaan dan tim pendamping.

Saksi Leni M, misalnya, mengakui hanya membubuhkan tanda tangan ketika diminta, tanpa pernah memverifikasi langsung kebenaran dokumen-dokumen yang diteken. Saksi Dedi Setiono, yang berlatar belakang hukum, pun tak tahu ada tidaknya verifikasi dokumen peserta lelang. “Kami asumsikan tugas kami sebagi tim pendamping hanya membantu tim pelaksana,” ujarnya.

Keanehan lain yang dipertanyakan jaksa dalam persidangan adalah revisi kontrak. Kontrak pertama 24 November 2009, pemesanan bus toilet dalam perjanjian adalah Gipindo Piranti Insani. Tetapi kontrak itu diubah atas permintaan pemesan bernama Dedi. Nama perusahaan pemesan diganti menjadi PT Astrasea Pasirindo. Saksi Widarta, direktur perusahaan karoseri yang mendapat proyek pembuatan bus toilet, tak mengetahui dan mempertanyakan alasan perubahan nama pemesan bus dalam perjanjian.

Sesuai perjanjian, seharusnya pemesan sudah harus melunasi pembayaran begitu karoseri mobil diselesaikan. Mobil sudah selesai pada Januari. Tetapi pembayaran oleh Astrasea baru lunas pada Maret 2011. “Harusnya mobil selesai langsung dibayar. Keberatan sih keberatan. Tapi yang namanya bisnis, kita memaklumilah,” kata Widarta di ruang sidang.

Berdasarkan perencanaan anggaran, seharusnya panitia melakukan tender untuk 4 bus besar dan 4 bus kecil toilet untuk VVIP. Tetapi kemudian direvisi menjadi 2 mobil besar dan 4 mobil kecil. Ketika direalisasikan, terungkap di persidangan, tak semua spesifikasi yang diminta sesuai. Kapasitas daya tampung air misalnya dikurangi. Dan ternyata pengurangan dari spesifikasi itu tak mengubah besaran pembayaran kepada pengusaha karoseri.

Berdasarkan informasi yang dihimpun hukumonline, selain Eko Baruno dan Yolanda, tersangka lain dalam kasus ini adalah Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa, Aryadi; Kuasa Pengguna Anggaran Lubis Latief (mantan Kabid Sarana dan Prasarana), dan Direktur PT Astrasea Parasindo, Yusman Pasaribu.
Tags:

Berita Terkait