Sistem Proporsional Terbuka dan Kelemahannya dalam Pemilu
Berita

Sistem Proporsional Terbuka dan Kelemahannya dalam Pemilu

Mulai gagal memperkuat partai sebagai intitusi demokrasi, menciptakan pemerintahan yang efektif, hingga gagal menghasilkan politisi kompeten dan berintegritas.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

Meski terdapat kekurangan itu, Donal menyarankan agar mempertahankan sistem proporsional terbuka. Alasannya, agar tetap dapat meningkatkan partisipasi politik pemilih. Kemudian menjaga relasi pertanggungjawaban pemilih dengan calon terpilih atau wakil rakyat, dan menekan oligarki partai politik.

“Ini karena calon terpilih bukan ditentukan berdasarkan nomor urut partai politik, tetapi oleh suara terbanyak yang diberikan para pemilihnya,” kata Donal dalam makalahnya dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu.

Proporsional terbuka gagal?

Berbeda, Guru Besar Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Airlangga Prof Ramlan Surbakti menilai sistem proporsional terbuka bagi pemilih calon anggota legislatif DPR dan DPRD yang diterapkan sejak Pemilu 2009 gagal mencapai lima tujuan. Pertama, gagal memperkuat partai sebagai institusi demokrasi, tetapi yang terjadi partai dikelola secara oligarki atau personalistik.

Kedua, gagal menyederhanakan partai politik. Menurutnya yang dikehendaki sistem proporsional yakni multipartai sederhana, tetapi yang terjadi tetap sistem multipartai yakni 9 partai hasil Pemilu 2009; 10 partai hasil Pemilu 2014; dan 9 partai hasil pemilu 2019. Ketiga, gagal menciptakan sistem perwakilan politik yang representatif. Bahkan, malah terbentuk sistem perwakilan politik yang tidak jelas. “Representativeness tidak, akuntabilitas juga tidak,” kata dia dalam makalah dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu.

Keempat, gagal menciptakan pemerintahan yang efektif di tingkat nasional maupun daerah. Kelima,gagal menghasilkan politisi kompeten dan berintegritas. Sebaliknya malah  menghasilkan politisi yang korup. Dia menilai alasan gagalnya sistem pemilu proporsional terbuka mencapai tujuannya lantaran proporsional terbuka yang diterapkan sejak Pemilu 2009 bukanlah sistem pemilu campuran yang dikenal dalam kajian pemilu, melainkan sistem pemiu campur aduk (campuran).

Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2004-2007 itu menerangkan fakta proporsional campuran. Pertama,pola pencalonan mengadopsi “daftar calon partai” berdasarkan nomor urut calon. Namun, penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Kedua, peserta pemilu berdasarkan Pasal 22E UUD ayat (3) 1945 adalah partai politik. Namun, yang bersaing dalam pemilu bukanlah partai, melainkan calon anggota legislatif dari berbagai partai.

Artinya, terbuka kemungkinan partai tidak bersaing dengan partai lain, melainkan calon dari partai yang sama bersaing di daerah pemilihan yang sama. Ketiga, Partai Politik Peserta Pemilu menetapkan visi, misi dan program partai sebagai materi kampanye. Namun, calon yang melakukan kampanye cenderung tak jelas apa yang disampaikan ke pemilih.

Keempat, calon yang mencari dan menggunakan dana kampanye (karena calon yang melakukan kampanye pemilu). Tetapi P4 yang menyusun dan melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye. Kelima, calon yang berupaya dengan segala cara mendapatkan suara agar terpilih, tetapi Dewan Pimpinan Pusat Partai Politik Peserta Pemilu yang berwenang mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan keputusan KPU atas hasil pemilu.

“Kata lain, peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD secara empirik bukan lagi partai, melainkan calon. Tetapi secara formal partai yang tampil,” katanya.

Tags:

Berita Terkait