Small Claim Court Perlu Digaungkan
Berita

Small Claim Court Perlu Digaungkan

Sebagai bagian dari upaya reformasi peradilan.

Yoz
Bacaan 2 Menit
Dian Rosita (kanan) Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi<br> untuk Independensi Peradilan (LeIP). Foto: Sgp
Dian Rosita (kanan) Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi<br> untuk Independensi Peradilan (LeIP). Foto: Sgp

Pengadilan bukan hanya harus independen dan berintegritas, namun harus mampu memberikan layanan berkeadilan kepada semua lapisan masyarakat. Untuk itu, pengadilan terutama di tingkat pertama, harus dirancang sedemikian rupa agar mampu melayani kepentingan masyarakat yang ditandai dengan proses berbiaya rendah, sederhana, dan waktu penyelesaian perkara yang cepat.

 

Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Dian Rosita, dalam acara seminar berjudul Problematika Penagihan Utang yang diselenggarakan oleh Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) di Hotel Le Meredien, Jakarta, Kamis (28/4).

 

Sejatinya, konsep pengadilan kecil yang ramah masyarakat sudah banyak diadopsi di beberapa negara, seperti Jepang dengan sebutan summary court. Hal sama juga berlaku di beberapa negara bagian Amerika dan Australia, yang disebut small claim court. Filipina baru-baru ini juga mengadopsi konsep small claim court sebagai bagian dari upaya reformasi peradilan.

 

Dian menjelaskan, pengadilan acara cepat seperti small claim court atau summary court pada umumnya merupakan struktur pengadilan terpisah yang berada di yurisdiksi pengadilan tingkat pertama. Pada pengadilan acara cepat ini berbagai kasus sederhana akan diperiksa secara cepat dengan proses pembuktian yang sederhana.

 

Perkara perdata dengan nilai gugatan yang relatif kecil seharusnya dapat diselesaikan melalui proses pengadilan ini. Untuk perkara yang nilai ekonominya kecil dan tidak memerlukan proses administrasi perkara dan pembuktian yang kompleks, maka dapat digunakan proses tanya jawab yang tidak terlalu menitikberatkan pada kelengkapan dokumen. Perkara jenis ini juga dapat diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal.

 

“Namun, perkara-perkara yang memerlukan pembuktian kompleks tidak dapat diperiksa oleh pengadilan ini dan harus melalui jalur pengadilan biasa,” kata Dian.

 

Yang tak kalah penting, lanjut Dian, pengadilan acara cepat seperti ini bisa menjadi solusi alternatif bagi berbagai perkara pidana kecil yang banyak disorot akhir-akhir ini. Dia mencontohkan, kasus pencurian semangka, kasus pencurian kakao dan sebagainya.

 

“Padahal, jenis perkara pidana dengan ancaman hukuman ringan dapat diupayakan penyelesaiannya malalui pengadilan acara cepat dengan mempertimbangkan perspektif restroative justice,” tuturnya.

 

Penjelasan Dian tak lepas dari apa yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Dalam undang-undang ini diatur tentang kebijakan perlindungan konsumen, baik menyangkut hukum materiil, maupun hukum formil mengenai penyelasaian sengketa konsumen.

 

Menurut advokat pemerhati perlindungan konsumen, David ML Tobing, sengketa konsumen tidak hanya dilihat dari aspek pidana dan administratif saja, tetapi yang lebih sering terjadi adalah tuntutan ganti rugi atas dasar tuntutan perdata. Peradilan yang rumit dan berliku membuat konsumen enggan menggunakan sarana penegakan hukum dan institusi peradilan dalam mempertahankan haknya.

 

Diterangkan David, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen mengkategorikan mekanisme penyelesaian sengketa konsumen ke dalam dua mekanisme, yaitu di luar dan di dalam pengadilan. Mekanisme penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dilaksanakan melalui bantuan lembaga penyelesaian konsumen terhadap pelaku usaha dan konsumen dengan mekanisme Bipartit, Direktorat Pemberdayaan Konsumen, YLKI, dan LPKSM.

 

Sedangkan penyelesaian sengketa melalui lembaga atau instansi berwenang dibagi ke dalam dua mekanisme, yaitu BPSK sesuai dengan Pasal 49 dan Pasal 58 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Kemudian, melalui pengadilan umum.

 

Dalam praktik saat ini, kata David, sengketa konsumen sudah banyak yang diajukan ke Peradilan Umum, namun jika dibandingkan dengan konsumsi waktu yang harus dihabiskan oleh konsumen serta biaya yang harus dikeluarkan, maka penyelesaian sengketa konsumen menjadi tidak efektif lagi.

 

Dalam perkara pengembalian kelebihan uang parkir Rp1000, misalnya. Menurut David, si konsumen harus rela mengikuti persidangan hingga ke tahap kasasi dan baru menerima uang ganti rugi sebesar Rp1000 tersebut setelah 3,5 tahun lamanya. Kemudian, dalam perkara penggantian motor hilang. Ganti rugi kehilangan motor sebesar Rp13 juta baru bisa diterima 5 tahun kemudian, setelah putusan kasasi Mahkamah Agung.

 

“Dalam kasus kehilangan motor tersebut, konsumen menempuh jalur penyelesaian melalui BPSK,” ujarnya.

 

Terkait kedudukan dan perlindungan nasabah kartu kredit sebagai konsumen perbankan, David beranggapan, ke depan, perlu diberdayakan Lembaga Mediasi Perbankan yang mumpuni dan jga BPSK yang mempunyai kewenangan mengadili dan memutus untuk pertama dan terakhir serta dibentuk suatu peradilan small claim court seperti layaknya peradilan tindak pidana ringan (tipiring).

Tags: