Soal Eksekusi Mati, Pemerintah Jangan Terpengaruh Diplomasi Internasional
Berita

Soal Eksekusi Mati, Pemerintah Jangan Terpengaruh Diplomasi Internasional

Belum dieksekusinya terpidana mati gelombang dua menjadi polemik dan menimbulkan dampak politik luar negeri.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Ketua DPR Setya Novanto. Foto: RES
Ketua DPR Setya Novanto. Foto: RES
Adalah hal wajar jika pemerintahan suatu negara melakukan berbagai upaya agar warganya tidak dieksekusi hukuman mati oleh negara lain. Australia, misalnya. Negara ini terus melakukan diplomasi agar pemerintahan Jokowi membatalkan eksekusi hukuman mati terhadap dua warganya. Namun, DPR meminta pemerintah Indonesia tetap melaksanakan hukuman mati sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku.

Ketua DPR Setya Novanto mengatakan, Indonesia memiliki sistem hukum yang berdaulat tanpa intervensi negara lain. Intervensi terhadap pemerintah Indonesia dalam menjalankan hukum yang berlaku merupakan bentuk kedaulatan negara Indonesia. Untuk itulah, pemerintah mesti tegas menjalankan hukum, sekalipun menghukum mati warga negara lain setelah mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap.

“Terhadap eksekusi hukuman mati, DPR mendorong pemerintah untuk tidak terpengaruh oleh tekanan diplomasi internasional yang mengganggu kedaulatan hukum nasional,” ujar Setya Novanto dalam pidato pembukaan masa persidangan III tahun sidang 2014-2015, di Gedung DPR, Senin (23/3).

Wakil Ketua DPR Fadli Zon menambahkan, belum dieksekusinya terpidana mati gelombang dua menjadi polemik, bahkan menimbulkan dampak politik luar negeri. Pemerintah mesti memikirkan dampak dari ekesekusi hukuman mati terhadap hubungan antar negara. Namun, jika pemerintah memandang hal itu baik maka pemerintah dapat melaksanakan hukuman mati dengan berbagai konsekuensinya.

Namun jika terus melakukan penundaan, pemerintahan Jokowi mesti memberikan penjelasan kepada publik. “Presiden dalam hal ini mempunyai hak kalau hak itu sudah tidak digunakan apakah kelanjutannya. Apakah akan dieksekusi atau tidak dieksekusi,” ujarnya politisi Partai Gerindra itu.

Anggota Komisi III Nasir Djamil berpandangan, pemerintah Indonesia semestinya lebih kuat dari pemerintahan sebelumnya. Apalagi, pemerintahan Jokowi amat tegas ketika menyatakan akan menghukum mati terpidana bandar narkotika. Harapan Nasir belakangan surut ketika eksekusi mati tahap kedua mengalami penundaan.

“Ternyata Indonesia makin lama makin lembek menghadapi tekanan Australia. Seharusnya tetap tegas dan kuat, tapi kok seperti itu kenyataanya,” ujarnya.

Sebagai anggota Komisi III, Nasir menyayangkan masih adanya alasan persoalan hukum. Padahal, yang masih terkendala permasalahan hukum hanyalah satu orang warga negara Filipina, yakni Mary Jane Fiesta Veloso. Sedangkan lainnya sudah berkekuatan hukum tetap. “Tinggal di eksekusi,” imbuhnya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu berpandangan masih terdapat tarik ulur terhadap eksekusi hukuman mati. Bahkan, Nasir menengarai adanya deal-deal agar dilakukan penundaan eksekusi.

“Pemerintah Indonesia tidak boleh menarik ludah yang sudah dikeluarkan apapun risikonya. Apa lagi, pidato pimpinan DPR sudah memberikan warning kepada pemerintah terkait eksekusi hukuman mati kejahatan narkoba,” katanya.

Nasir berpendapat penundaan yang dilakukan pemerintah mesti dijelaskan ke publik. Ia berharap pemerintah tak lagi mengulur eksekusi hukuman mati. Pasalnya penundaan berdampak pada psikologi kejiwaan terpidana. “Jangan lagi menunda-nunda. Kalau dibilang alasan masalah hukum itu sumir, dan orang akan tertewa. Harus ada penjelasan yang clear dan berbobot kenapaditunda,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait