Sofyan Djalil: Over Regulasi Kill Us
Berita

Sofyan Djalil: Over Regulasi Kill Us

Banyaknya peraturan tidak menyelesaikan masalah. Untuk itu, akan ada deregulasi 50 persen peraturan dalam setahun ke depan.

Oleh:
HAG
Bacaan 2 Menit
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Sofyan Djalil. Foto: RES
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Sofyan Djalil. Foto: RES
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Sofyan Djalil mengatakan bahwa jumlah regulasi di Indonesia sudah terlalu banyak (over regulasi). Menurutnya, hal ini menimbulkan masalah karena selain banyak peraturan yang tidak efektif, banyak juga pejabat yang masih memiliki pola pikir bahwa adanya undang-undang atau peraturan dapat menyelesaikan masalah.

Sofyan menjelaskan, saat rapat kabinet membahas mengenai Program Legislasi Nasional (Prolegnas), Presiden Joko Widodo berpirinsip tidak usah banyak mengeluarkan undang-undang, namun yang terpenting adalah kualitas dari undang-undang tersebut.

“Kemarin saat rapat kabinet mengenai prolegnas, presiden berprinsip tak usah banyak membuat undang-undang, tapi yang terpenting adalah kualitas. Semakin banyak undang-undang maka akan mengikat kita sendiri dan membuat negeri ini sulit bergerak,” jelasnya kepada hukumonline, di sela acara Iluni FHUI, Sabtu (23/1).

Dia mencontohkan, dalam 5-10 tahun terkahir terdapat 42.000 peraturan, mulai dari undang-undang sampai peraturan daerah. Menurutnya, dalam jangka waktu setahun ke depan pemerintah akan menderegulasi sebanyak 50 persen,dengan harapan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

“Targetnya dalam setahun ke depan 50 persen akan dipotong. Itu pengalaman Korea, melakukan program yang sama, itu dia potong peraturan 50% pertumbuhan ekonomi sekitar 1 digit dan beban masyarakat berkurang luar biasa signifikan,” ujarnya.

Sofyan mengatakan, pola pikir yang selama ini ada di Indonesia merupakan pola pikir yang salah dalam melihat aturan. Kalau pola pikir di Indonesia, semua dilarang kecuali yang dibolehkan. Seharusnya, kata Sofyan, masyarakat berpikir menggunakan konsep semuanya boleh, kecuali yang dilarang. Dengan begitu, ia yakin masyarakat akan memiliki kreativitas.

“Itu kan prinsip universal, karena manusia itu harus diberikan freedom untuk melakukan sesuatu agar berkembang kecuali apa yang dilarang. Indonesia sekarang semua tidak boleh kecuali yang dibolehkan. Kalau ada masalah itu kemudian ditanya mana aturannya, harusnya sebaliknya sehingga bahwa semua boleh melakukan kecuali yang dilarang,” paparnya.

Sofyan menambahkan, banyaknya aturan membuat orang yang masuk penjara juga semakin banyak. Dia mencontohkan kasus RJ Lino yang dianggap melanggar peraturan, namun penegak hukum tidak melihat manfaatnya. Kemudian, Kepala Dinas di Jakarta Pusat yang beberapa tahun lalu bekerja di pemadam kebakaran, lalu mendapat promosi menjadi Kepala.

“Ketika menjadi Kepala, dia membeli barang yang hanya dibutuhkan karena dia sudah memiliki pengalaman sebelumnya. Semua pemadam senang. Tetapi kemudian karena dia melanggar anggaran, dia dihukum penjara. Jadi regulasi itu yang kill us,” ujarnya.

Oleh sebab itu, kata Sofyan, ada beberapa hal yang harus dijawab sebelum sebuah peraturan dibuat, seperti kenapa perlu peraturan tersebut dibuat, apakah ada cara lain untuk mengatur tanpa peraturan, dan apakah ada norma yang bukan peraturan yang bisa diadikan acuan agar tidak terjadi pelanggaran.

“Ketika memang tidak ada lagi, maka baru kita buat peraturan tersebut. Kemudian apabila ada standar mengenai sesuatu tidak perlu tersebar di sekian puluh peraturan menteri, cukup satu peraturan pemerintah yang dikodifikasi. Sehingga, bisa diikuti oleh industri, masyarakat, dan para pelaku bisnis. Regulasi kita salah. Harusnya ekonomi itu undang-undang punya dua fungsi untuk meng-shape arah pembangunan sehingga harus dipikirkan dengan baik,” tambahnya.

Sofyan mengingatkan bahwa proses pembuatan regulasi itu memakan biaya yang besar. Selain itu, masyarakat akan semakin terbebani dengan banyaknya aturan. Di Indonesia, pelanggaran prosedur bisa dipidanakan. Padahal, menurut Sofyan, hal yang terpenting adalah substansi.

“Misal, bikin sawah, tender dengan benar tapi sawah tidak menghasilkan apa-apa itu tidak salah. Tapi kalau you melanggar dengan melakukan penunjukan langsung walaupun menguntungkan you salah. Jadi ini yang ada di Indonesia,” tandasnya.

Sofyan mengatakan, apapun yang dilakukan semua pihak ada plus dan minusnya, tetapi sekarang ini hambatan di birokrasi dan regulasi membuat negeri ini tidak jalan. Sepuluh tahun terakhir, proyek-proyek tingkat kesuksesannya tidak sampai 3 persen.

“Oleh karena itu, sekarang proyek strategis kita percepat. Bahwa ada abuse kita perbaiki. Tapi yang paling penting adalah manfaat, kalau bahwa ada KKN kita harus perbaiki, tetapi harus kita lihat manfaatnya lebih jauh besar,” pungkasnya.



Tags:

Berita Terkait