Solusi Penanganan Pengungsi Etnis Rohingya
Kolom

Solusi Penanganan Pengungsi Etnis Rohingya

Merespon situasinya tidak bisa menyederhanakan sekadar mengusir balik ke Myanmar. Masih ada solusi alternatif.

Bacaan 7 Menit

Namun, masalah muncul ketika gelombang demi gelombang manusia perahu terus berdatangan setiap tahun. Pengungsi Rohingya tak betah berlama-lama di penampungan. Banyak yang melarikan diri bahkan ada yang membuang bantuan makanan. Kesabaran penduduk lokal pun wajar ada batasnya.

Mengelola manusia perahu Rohingya memang tidak sederhana. Merespon situasinya juga tidak bisa menyederhanakan sekadar mengusir balik ke Myanmar. Mari kita urai benang kusut ini hingga sampai pada solusi alternatif.

Pertama, akar permasalahannya ada pada Negara Myanmar. Indonesia dan negara-negara jiran Myanmar hanya terkena batunya. Akar permasalahan utama pengungsian masif warga Rohingya adalah Myanmar. Negara ini menegasikan eksistensi etnis Rohingya yang mayoritas bermukim di negara bagian (state) Rakhine/Arakan. Etnis Rohingya dianggap bukan bagian dari warga negara Myanmar. Bahkan, Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 mengeluarkan Rohingya sebagai bagian dari warga negara Myanmar. Etnis Rohingya menjadi tanpa kewarganegaraan alias stateless

Mereka yang masih bermukim di Arakan kerap mendapat intimidasi, persekusi, dan pembatasan gerak oleh otoritas Myanmar. Setiap terjadi pengungsian dan permasalahan migrasi warga Rohingya di negeri tetangga—seperti Bangladesh, Thailand, Malaysia dan Indonesia—, otoritas dan perwakilan (embassy) Myanmar hampir selalu lepas tangan. Mereka tak peduli. Seolah-olah etnis Rohingya memang bukan bagian dari Myanmar.

Kedua, otoritas pengungsian di Bangladesh tidak lebih baik. Times of India (24/11-2023) menyebutkan bahwa Bangladesh telah menjadi lokasi penampungan sekitar sejuta pengungsi Rohingya yang utamanya melarikan diri sejak konflik tahun 2017. Di sisi lain, Bangladesh bukanlah rumah yang nyaman untuk mereka. Bangladesh sendiri adalah negeri yang overpopulated (173 juta jiwa di tahun 2023) serta berkutat dengan kemiskinan, konflik sosial politik, dan bencana alam. Menerima hampir sejuta pengungsi Rohingya tentunya menimbulkan beban tambahan bagi Bangladesh. Maka, bukan hal yang aneh apabila kondisi di tempat pengungsian adalah keras, berbahaya, amat padat, tidak nyaman, dan kurang layak. Kondisi ini membuat banyak pengungsi Rohingya memilih jalan menyabung nyawa dengan berhari-hari melaut ke Indonesia—atau Malaysia—melalui Teluk Bengal (Bay of Bengal) dan Lautan Andaman.

Pertanyaannya, mengapa mereka begitu mudah melaut meninggalkan Bangladesh menuju Malaysia atau Indonesia dengan perahu berfasilitas terbatas dan melebihi kapasitas? Ini terjadi amat sering setiap tahun. Di mana peran otoritas pengungsian atau lembaga-lembaga internasional di Bangladesh dalam melakukan pencegahan?

Selanjutnya, ada oknum penyelundup manusia (people smuggler). Mereka biang kerok berikutnya yang membuat warga Rohingya menyabung nyawa ke Lautan Andaman. Tak dipungkiri, memang ada jaringan penyelundup manusia di Myanmar dan Bangladesh dengan perwakilan jejaringnya di Indonesia dan Malaysia. Mereka yang memfasilitasi pelarian berbahaya ini. Tentu saja ini berbayar alias tidak gratis. Mereka mengambil sejumlah uang bayaran dengan iming-iming bisa mengirim warga Rohingya ke negara transit. Bahkan tidak sedikit yang berbual dapat mengirim mereka ke Australia dan negara lain yang akan menerima status mereka sebagai pengungsi. Padahal, para pengungsi yang tiba di negara transit—seperti Indonesia—justru ditelantarkan atau dipaksa mencari jalan selamat sendiri-sendiri.

Tags:

Berita Terkait