Status Perppu JPSK: Rumit Karena Kompromi Politik DPR
Kolom

Status Perppu JPSK: Rumit Karena Kompromi Politik DPR

DPR dan pemerintah sama-sama memiliki kesalahan dalam sengketa legislasi ini. Masing-masing pihak tidak konsisten dalam menerapkan ketentuan UU No. 10/2004 yang mengatur tentang tindak lanjut perppu.

Bacaan 2 Menit

 

Kedua pihak yang berselisih tersebut melakukan penafsiran atas sikap yang tidak tegas DPR. Ketidaktegasan ini terjadi karena kebuntuan proses politik dalam forum yang berjenjang di DPR mulai dari tingkat komisi, lobi pimpinan DPR hingga forum paripurna DPR. Andaikan pada 18 Desember 2009 DPR menyatakan secara tegas penolakannya atau pemerintah tidak membiarkan ketidaktegasan DPR atas sikapnya terhadap Perppu JPSK, kemungkinan besar masalah Perppu JPSK ini menjadi tidak serumit sekarang.

 

DPR Tidak Tegas

Ada dua sudut pandang untuk melihat karakter dari sebuah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Secara formal, perppu merupakan peraturan perundang-undangan dengan jenis peraturan pemerintah. Pembentukan perppu merupakan hak presiden. Sementara dari sudut pandang materiil maka perppu merupakan salah satu bentuk undang-undang karena walaupun hanya dibentuk oleh Presiden tetapi materi pengaturannya luas.

 

Jadi ada dua baju yang dimiliki oleh perppu yaitu peraturan pemerintah dan undang-undang. Namun, UUD dan undang-undang membatasi kewenangan Presiden tersebut dengan dua syarat yaitu pembentukan perppu harus didasarkan pada kegentingan yang memaksa dan harus mendapat persetujuan dari DPR pada masa sidang berikutnya yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang. Pembatasan ini mengindikasikan adanya kontrol atas hak yang dimiliki Presiden untuk membuat peraturan perundang-undangan yang dalam situasi normal hak tersebut berada di tangan DPR bersama Presiden.

 

Keputusan atas kontrol DPR terhadap perppu juga dibatasi pada dua sikap yaitu menerima atau menolak.  Pembatasan sikap memberikan peluang keputusan atas perppu dapat diambil secara cepat dan memberi kepastian hukum atas tindakan yang diambil dalam penanganan keadaaan genting yang memaksa.

 

Pengambilan sikap di luar dua sikap yang sudah ditentukan dalam undang-undang berakibat pada ketidakpastian atas status perppu. Dalam kasus Perppu JPSK, pertarungan kekuatan politik di DPR memaksa DPR mengambil sikap kompromi dengan tidak menerima maupun tidak menolak secara tegas. Sikap yang diambil meminta pemerintah mengajukan RUU yang menggantikan perppu sebelum 19 Januari 2009 tanpa menjelaskan status perppu yang ada.

 

Di sisi lain, pemerintah terkesan melakukan pembiaran atas sikap tidak tegas DPR. Sikap pemerintah ini beresiko secara politik mapun hukum. Resiko politik sudah mulai terbukti. Ketika keputusan diambil 18 Desember 2008, peta kekuatan politik berimbang antara fraksi yang menerima dan menolak perppu. Dengan bergulirnya hak angket Bank Century peta kekuatan tersebut menjadi tidak berimbang. Selain itu, perubahan sikap politik juga dipengaruhi hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden. Mayoritas fraksi berpendapat DPR telah menolak perppu sejak 18 Desember 2008.  Sehingga menurut DPR, segala tindakan yang diambil setelah 18 Desember 2008 tidak mempunyai dasar hukum. Di sinilah muncul ketidakpastian hukum yang merugikan pemerintah akibat ketidaktegasan DPR dan pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah. Walaupun dilihat dari konteks kewenangan, sebenarnya DPR sebagai penyebab dari kekisruhan perppu ini.

 

Siapa yang salah?

DPR dan pemerintah sama-sama memiliki kesalahan dalam sengketa legislasi ini. Masing-masing pihak tidak konsisten dalam menerapkan ketentuan UU No. 10/2004 yang mengatur tentang tindak lanjut perppu. Pilihan untuk meminta Presiden mengajukan RUU JPSK adalah pilihan di luar kerangka aturan dalam UU No. 10/2004.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait