Status Piutang BUMN Hambat Ekspansi Bank
Berita

Status Piutang BUMN Hambat Ekspansi Bank

Kredit macet bank BUMN yang dianggap sebagai keuangan negara menimbulkan kerumitan tersendiri dan irasionalitas terhadap status piutang BUMN/BUMD.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Status Piutang BUMN Hambat Ekspansi Bank
Hukumonline
Kredit (piutang) macet merupakan suatu hal yang lumrah terjadi pada setiap bank. Namun persoalannya menjadi berbeda jika kredit macet terjadi pada bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Direksi BUMN kerap khawatir mengambil tindakan terkait kredit macet dikarenakan takut masuk kategorikerugian negara.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Dian Puji N. Simatupang, menilai kredit macet bank BUMN yang dianggap sebagai keuangan negara menimbulkan kerumitan tersendiri dan irasionalitas terhadap status piutang BUMN/BUMD. Akibatnya, ruang gerak ekspansi bank BUMN/BUMD dalam melakukan kegiatannya menjadi terhambat karena terlalu mempertimbangkan ketidakpastian hukum dalam status kredit yang disalurkan.

Berbeda halnya dengan bank swasta, bank BUMN/BUMD dalam penyaluran kredit dan mekanisme pengurangan dan pemotongannya bersinggungan dengan regulasi keuangan negara yang melekat akibat status hukum “keuangan negara” yang dianggap over-regulated, di mana mekanisme pengurangan atau penghapusan piutang BUMN/BUMD membutuhkan persetujuan menteri keuangan, presiden atau DPR menurut tingkat wewenangnya masing-masing.

“Adanya over-regulated pada pengelolaan piutang bank BUMN/BUMD menyebabkan kinerja bank terlalu berpikiran birokratis dan tidak ekspansif dalam menyalurkan kredit yang bertujuan mengembangkan kinerja korporasi,” kata Dian dalam Seminar Nasional "Perspektif Hukum Penanganan Kredit Macet pada Bank BUMN/BUMD: Korupsi atau Risiko Bisnis" yang diadakan di Jakarta, Rabu (19/3).

Padahal, lanjut Dian, keuangan BUMN/BUMD bukan menjadi bagian dari keuangan negara. Penyusunan dan perumusan kredit pada bank BUMN/BUMD didasarkan pada kesepakatan para pihak sebagaimana diatur dalam KUHPerdata. Ditambah lagi, putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa piutang BUMN/BUMD dapat dikelola menurut prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

Sejauh ini, beberapa pihak tertentu cenderung untuk memvonis secara sepihak para bankir sebagai orang-orang bermasalah dan penyebab kredit macet yang dianggap lahir dari kebijakan korporasi yang korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal tersebut merupakan persoalan rumit yang dihadapi oleh bankir, di mana tidak ada jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi bankir BUMN/BUMD untuk melaksanakan tindakan dan perbuatan hukum korporasi sesuai dengan prinsip hukum perusahaan.

“Dalam perspektif keuangan publik, status hukum piutang bank BUMN/BUMD tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari ruang lingkup keuangan negara,” jelas Dian.

Menurut Dian, ada tiga alasan yang mendasari penilaiannya tersebut. Pertama, piutang bank BUMN/BUMD dirumuskan kebijakan dan implementasinya berdasarkan ketentuan dan pedoman hukum tersendiri sesuai dengan prinsip perjanjian dan perbankan. Kedua, piutang bank BUMN/BUMD tidak berada pada penguasaan (pengaturan) menteri keuangan sebagai bendahara umum negara, sehingga ketentuan dan penyelesaiannya telah diatur dalam bank BUMN/BUMD tersebut sebagai badan hukum.

“Dan ketiga, penyelesaian piutang BUMN/BUMD dapat dilakukan sendiri oleh bank BUMN/BUMD tanpa mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan perbendaharaan negara karena tujuan penghapusan berbeda dengan penghapusan pada uang dan barang milik negara yang ditujukan pada kepentingan umum yang harus dilindungi,” katanya.

Dian juga melihat tiga keanehan status hukum dan karakter hukum piutang BUMN/BUMD jika dianggap sebagai piutang negara. Ia menilai piutang BUMN/BUMD tidak memenuhi tiga indikator untuk menentukan keuangan negara, yaitu regulasi BUMN/BUMD yang tidak didasarkan pada ketentuan, prinsip, prosedur dan syarat dalam peraturan perundang-undangan yang ditetapkan menteri keuangan sebagai bendahara umum negara.

Kemudian, tata kelola bank BUMN/BUMD tidak didasarkan pada pengelolaan dan pertanggungjawaban yang diatur menurut peraturan perundang-undangan melalui mekanisme persetujuan DPR dan dimasukkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negar secara keseluruhan serta risiko bank BUMN/BUMD tagihan dan beban kewajiban risikonya tidak dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Erman Rajagukguk, menilai kredit macet yang dialami suatu bank sebagai kreditur mungkin terjadi karena dua hal yakni kekurang hati-hatian dan ketidakcukupan agunan. Untuk itu, sebelum memberikan kredit kepada debitur, ada 5 hal yang harus diperhatikan berdasarkan prinsip 5C,  yakni character (watak), capacity (kemampuan mengembalikan pinjaman), capital (modal), collateral (agunan) dan condition of economy (prospek usaha dari nasabah debitur).

Terjadinya kredit macet, lanjut Erman, tidak bisa dimasukkan ke dalam kerugian negara. Meskipun berangkat dari kekurang kati-hatian pihak bank, kredit macet menjadi urusan pihak bank yang bersangkutan. Apalagi, kredit selalu diikuti dengan agunan dan adanya perjanjian merupakan urusan perdata.

“Uang dari kegiatan BUMN bukan keuangan negara,” kata Erman.

Sementara itu, Tenaga Ahli BPK Achmad Djazuli menilai perlunya pengaturan terhadap bank BUMN/BUMD terkait mekanisme penghapusan kredit macet layaknya yang diatur pada bank swasta. Hal tersebut penting dilakukan untuk menghindari kerugian negara dalam pengambilan kebijakan penghapusan kredit macet.

‘Perlu ada SOP-nya soal penghapusan kredit macet agar tidak masuk kerugian negara. Nanti apakah ada peraturan menteri untuk menjadi payung SOP atau langsung SOP saja,” pungkas Achmad.
Tags:

Berita Terkait