Eks Dirut BUMN Didakwa Rugikan Negara Rp112 Miliar
Berita

Eks Dirut BUMN Didakwa Rugikan Negara Rp112 Miliar

Terdakwa dinilai telah memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi.

NOV
Bacaan 2 Menit
Eddy Budiono saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta (24/2). Foto: NOV
Eddy Budiono saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta (24/2). Foto: NOV
Mantan Direktur Utama PT Sang Hyang Seri (SHS), Eddy Budiono Sugiono didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan, penyaluran, dan pengajuan subsidi benih tahun anggarn 2008-2011 yang mengakibatkan kerugian negara senilai Rp112,425 miliar.  

Nilai Rp112,425 miliar itu didapat berdasarkan penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Eddy didakwa melakukan beberapa perbuatan korupsi bersama-sama dengan sejumlah direktur SHS.

 “Perbuatan terdakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, subsidair Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP,” kata Penuntut umum Renhart Marbun di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (24/2).

Renhart menjelaskan Eddy bersama dengan HM Rachmat, Yohanes Maryadi Padyaatmaja, Kaharudin, dan Nizwar Syafaat, masing-masing selaku Direktur Keuangan, Direktur Produksi, Direktur Pemasaran, dan Direktur Penelitian SHS telah melakukan penyimpangan sejak penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP).

SHS merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertugas melaksanakan Public Service Obligation (PSO) Kementerian Pertanian (Kementan) dalam penyaluran benih bersubsidi. SHS memiliki enam kantor regional yang berada di Sukamandi, Klaten, Malang, Medan, Lampung, dan Sidrap, serta 19 cabang, dan 17 satuan tugas.

Renhart menguraikan, pada tahun 2008, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengesahkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun anggaran 2008 untuk belanja subsidi benih padi, kedelai, jagung hibrida, dan jagung komposit sebesar Rp69,802 miliar. Kemudian, tahun 2009, SHS mendapat stimulus fiskal sebesar Rp72,526 miliar.

SHS kembali mendapat stimulus fiskal tahun anggaran 2009, pada 2010 dan 2011 masing-masing sebesar Rp60,164 miliar dan Rp59,437 miliar. Untuk melaksanakan DIPA tersebut, Dirjen Tanaman Pangan Kementan membuat perjanjian kerja sama dengan SHS untuk menyalurkan subsidi benih yang pelaksanaannya mengacu pada RKAP.

Selanjutnya, SHS menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk menetapkan RKAP. Renhart menyatakan, dalam penyusunan dan penandatangan RKAP tahun 2008-2011, Eddy selaku Direktur Utama SHS bersama-sama direksi lainnya menyatukan RKAP perusahaan dengan RKAP penugasan pemerintah (PSO).

Dengan penggabungan RKAP, Eddy bersama-sama para direksi SHS telah memperhitungkan tantiem bagi para direksi, termasuk Eddy berdasarkan capaian kinerja tahun sebelumnya. Tantiem merupakan pembagian keuntungan yang diberikan kepada direksi dan komisaris oleh pemegang saham yang didasarkan presentasi laba perusahaan.

Padahal, Pasal 13 Keputusan Menteri BUMN No.101 Tahun 2002 mengatur secara tegas pemisahan RKAP perusahaan yang tujuannya mencapai sasaran usaha dengan RKAP penugasan pemerintah. Pencampuradukan tersebut secara langsung mengakibatkan praktik-praktik penyaluran fiktif pada kantor regional, cabang, dan satgas.

Renhart melanjutkan, dalam memenuhi capaian RKAP, SHS melakukan penyaluran fiktif atau non riil. SHS juga menyalurkan piutang fiktif dari biaya produksi fiktif, seolah-olah SHS melakukan pembelian calon benih. Nyatanya, uang itu ditransfer untuk menyelesaikan piutang usaha atas nama kios oleh bagian keuangan SHS.

“Selain itu, pencairan subsidi benih padi non hibrida dan kedelai yang diterima SHS diajukan dengan menggunakan faktur fiktif. Penyaluran benih padi non hibrida dan kedelai itu tidak didukung dengan adanya realisasi fisik barang atau benih yang dibuat oleh kantor cabang dan satgas SHS yang jumlahnya Rp118,568 miliar,” ujarnya.

Adapun kelebihan pembayaran kepada SHS atas kelebihan penghitungan HPP dan HP pemerintah, dibandingkan dengan HPP dan HP riil SHS untuk komoditas benih padi non hibrida dan kedelai sebesar Rp6,981 miliar. Menurut Renhart, SHS telah melakukan penyetoran Rp6,981 miliar ke kas negara pada tanggal 17 Oktober 2012.

Sepanjang 2008-2011, SHS telah menerima pencairan dana subsidi sebesar Rp217,187 miliar dari Dirjen Tanaman Pangan Kementan. Pencairan dana dilakukan setelah Eddi menandatangani dan mengajukan permohonan pencairan. Atas pencairan tersebut, profit margin komoditas SHS mencapai Rp183,525 miliar.

Mengingat profit margin merupakan salah satu sumber keuntungan SHS, profit itu dibagi-bagikan sebagai tantiem untuk direksi, komisaris, dan karyawan SHS. Renhart mengungkapkan, sepanjang 2008-2011, Eddi mendapat tantiem sejumlah Rp1,009 miliar, sedangkan empat direktur lainnya mendapat Rp2,923 miliar.

Namun, pada 2009 dan 2011, SHS telah menyetorkan kembali Rp179,056 miliar dan Rp5,965 miliar ke kas negara, sehingga tersisa Rp112,425 miliar. Renhart menyatakan, sisa Rp112,425 itulah yang dihitung sebagai kerugian negara. Dari dana itu, sebagian digunakan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi.

Menanggapi dakwaan, Eddy menyatakan sudah mengerti apa yang dituduhkan penuntut umum. Namun, Eddy tidak memahami tuduhan mengenai aktivitas fiktif, mekanisme penyusunan RKAP, serta pembagian tantiem. Ia merasa tidak mengetahui hal itu. “Saya tidak paham kalau tentang fiktif itu. Saya tidak tahu,” terangnya.

Pernyataan Eddy ini dianggap Ketua Majelis Hakim Aswidjon telah memasuki materi perkara. Oleh karenanya, Aswidjon membatasi agar Eddy hanya mengomentari formil dakwaan. Setelah berkonsultasi dengan pengacara, Eddy akhirnya memutuskan untuk menggunakan haknya mengajukan nota keberatan (eksepsi).

Aswidjon memberikan waktu satu minggu bagi tim pengacara Eddy untuk menyusun eksepsi. Ia menutup sidang untuk dibuka kembali pada Senin, 3 Maret 2014. Sidang selanjutnya diagendakan Aswidjon untuk pembacaan eksepsi. “Sidang ditunda sampai 3 Maret 2014 dengan acara eksepsi dari pengacara terdakwa,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait