Substansi Tak Sesuai Harapan, Serikat Buruh Tolak Perppu Cipta Kerja
Terbaru

Substansi Tak Sesuai Harapan, Serikat Buruh Tolak Perppu Cipta Kerja

Sejumlah pasal yang ditolak serikat buruh dalam UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih ada dalam Perppu No.2 Tahun 2022. Mulai mekanisme penetapan upah minimum, tidak ada upah sektoral, outsourcing, PKWT, PHK, pesangon, hingga Bank Tanah.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Sementara Perppu mengatur kenaikan upah minium berdasarkan variabel inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu. Iqbal menegaskan serikat buruh menolak ketentuan ini karena dalam hukum ketenagakerjaan tidak dikenal istilah indeks tertentu untuk menetapkan upah minimum. “Kami menduga indeks tertentu seperti dalam Permenaker No.18 Tahun 2022, menggunakan indeks 0,1 sampa 0,3. Partai buruh menginginkan tidak perlu indeks tertentu,” tegasnya.

Ketentuan Pasal 88F Perppu Cipta Kerja juga ditolak buruh karena mengatur pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda dengan formula sebagaimana dimaksud Pasal 88D ayat (2). Bagi Iqbal, ketentuan itu seolah memberi cek kosong kepada pemerintah untuk sesukanya mengubah formula. Upah minimum sektoral pun tidak ada dalam dalam Perppu Cipta Kerja sebagaimana UU Cipta Kerja.

Aturan outsourcing dalam Perppu sama seperti UU Cipta Kerja yang menghapus Pasal 64-66 UU No.13 Tahun 2003. Perppu Cipta Kerja mengatur perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis. Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan dalam Peraturan Pemerintah. Menurut Iqbal, hal itu membuat praktik outsourcing menjadi tidak jelas dan menegaskan semua pekerjaan bisa menggunakan mekanisme outsourcing. Dia mengusulkan aturan outsourcing dikembalikan lagi seperti sebelumnya diatur dalam UU No.13 Tahun 2003.

Soal pesangon, Perppu Cipta Kerja tak mengubah ketentuan UU Cipta Kerja dimana ada penurunan terhadap besaran pesangon yang diterima buruh. Iqbal usul aturan pesangon kembali seperti UU No.13 Tahun 2003. Jika upah tingkat manager atau direksi dirasa terlalu tinggi untuk mendapat pesangon sesuai perhitungan tersebut, maka perlu dibuat batasan atau plafon.

Hal serupa juga perlu dilakukan untuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau kontrak. Dimana Perppu dan UU Cipta Kerja tidak membatasi periode jangka waktu PKWT. Ketentuan ini membuat PKWT bisa dilakukan berulang kali. Serikat buruh mengusulkan periode PKWT dibatasi. PHK juga tidak mengalami perubahan karena Perppu masih mempertahankan prinsip mudah rekrut dan pemutusan hubungan kerja (PHK), seperti UU Cipta Kerja.

Penggunaan TKA menurut Iqbal juga harus berdasarkan izin. Untuk sanksi pidana, lebih baik kembali seperti diatur UU No.13 Tahun 2003. Pengaturan cuti panjang atau cuti besar dalam Perppu juga tidak diatur, sama seperti UU Cipta Kerja. “Pengaturan cuti panjang yang hilang, kami tolak. Begitu juga pengaturan cuti, harus kembali ke UU No 13 Tahun 2003,” pintanya.

Hal lain yang menjadi sorotan serikat buruh soal Bank Tanah yang tidak berubah dalam Perppu. “Kami tolak, karena merugikan petani dan pemilik tanah orang kecil. Bank Tanah diorientasikan untuk kepentingan korporasi besar, perkebunan sawit, dan sebagainya. Partai Buruh dan KSPI meminta Bank Tanah dikorelasikan dengan reforma agraria. Bank Tanah yang dimaksud adalah untuk didistribusikan kepada petani,” tegasnya.

Partai Buruh mempertimbangkan untuk menempuh langkah hukum terhadap Perppu Cipta Kerja ini, elain itu akan menggelar demonstrasi besar. Iqbal berharap pihaknya bisa bertemu Presiden Joko Widodo untuk memberi masukan terhadap persoalan Perppu.

Tags:

Berita Terkait