Substansi UU Cipta Kerja Dinilai Anti Reforma Agraria
Utama

Substansi UU Cipta Kerja Dinilai Anti Reforma Agraria

Karena jauh dari upaya memperbincangkan struktur penguasaan dan kepemilikan tanah secara berkeadilan sosial.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 6 Menit

Dengan begitu, politik hukum UU 11/2020 melegalkan praktik penyingkiran hak-hak masyarakat adat, warga, petani secara lebih sistemik dan berskala besar, dan masif. “Hal yang sama sekali tak mengejutkan dalam disain politik hukum neoliberalisme,” katanya.

Kepala Pusat Studi Agraria IPB, Rina Mardiana menilai UU 11/2020 berpotensi menjadi pemicu konflik agraria. Dia menilai reforma agraria tak harus diberikan ke perseorangan, namun lebih efektif diberikan kepemilikan bersama. Seperti diberikan ke koperasi, badan usaha milik desa. Dia menilai Bank Tanah dalam UU 11/2020, tidak menyediakan lahan untuk produksi. Sementara reforma agraria dalam kerangka Bank Tanah tidak memasukan tanah dalam kawasan hutan.

“Malahan UU 11/2020 menegasikan reforma agraria menyempitkan makna agraria menjadi tanah/pertanahan semata,” kata Rina Mardianan dalam kesempatan yang sama.  

Dia khawatir materi muatan UU 11/2020 dan aturan turunannya malah berpotensi mempertinggi ketimpangan kepemilikan dan penguasan lahan dan memicu konflik agraria yang kronis dan akut. Sebab, konsep domein verklaring pada masa Hindia Belanda seolah dihidupkan kembali melalui UU Cipta Kerja dimana Semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan, bahwa itu eigendomnya adalah tanah domein atau milik negara.”     

Sebelumnya, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, menilai konsentrasi kerja reforma agraria pada periode 2015-2019 lebih fokus pada legalisasi tanah. Padahal, legalisasi atau sertifikasi tanah (PTSL, red) merupakan kegiatan rutin yang berjalan sekalipun tanpa kebijakan reforma agraria. Sementara redistribusi tanah yang merupakan bagian penting dari reforma agraria, menurut Dewi mendapat porsi yang kecil yakni 0,4 juta hektar yang berasal dari tanah terlantar, bekas HGU, dan 4,1 juta hektar dari pelepasan kawasan hutan.

Dewi menilai pemerintah gagal menjalankan reforma agraria periode 2015-2019, antara lain karena penetapan tanah obyek reforma agraria (Tora) sifatnya (hanya, red) dari atas ke bawah, tidak mengutamakan usulan dari organisasi petani dan masyarakat yang tidak memiliki tanah. Sehingga reforma agraria yang berjalan tidak mampu membenahi ketimpangan penguasaan tanah, dan konflik agraria struktural.

Dia mengingatkan janji Presiden Jokowi untuk memperkuat lembaga reforma agraria, sebagaimana disampaikan pada hari Tani Nasional 24 September 2019 lalu yang tidak terlaksana. Hal ini terlihat dari berhentinya proses revisi Perpres No.86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait