Sudah Saatnya UU Ketenagakerjaan Direvisi
Berita

Sudah Saatnya UU Ketenagakerjaan Direvisi

Tak cukup dengan menerbitkan peraturan pelaksana atas putusan-putusan MK yang merontokkan UU Ketenagakerjaan.

Oleh:
ADY/IHW
Bacaan 2 Menit

Perluasan
Timboel Siregar berpendapat putusan MK ini berdampak pula pada dibatalkannya aturan daluarsa yang lain, yaitu daluarsa atas hak buruh menuntut hak atas pemutusan hubungan kerja seperti diatur dalam Pasal 82 UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

Dalam ketentuan itu, gugatan yang dilakukan pekerja atas PHK sebagaimana dimaksud pasal 159 dan 171 UU Ketenagakerjaan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu satu tahun sejak diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.

Timboel memantau selama ini pengusaha berlindung di pasal 96 UU Ketenagakerjaan dan pasal 82 UU PPHI. Sehingga, ketika terjadi PHK, pengusaha bersifat pasif dan membiarkan pekerja aktif mengajukan gugatan. Dengan mengantongi putusan MK itu Timboel berpendapat sekarang pekerja tidak perlu risau dengan pasal daluarsa tersebut.

“Konsekuensi bila pengusaha tetap pasif maka wajib membayar upah (pasal 155 ayat 2 UU Ketenagakerjaan) karena belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap dan final dari lembaga penyelesaian hubungan industrial,” tuturnya.

Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Juanda Pangaribuan, punya pendapat berbeda. Menurutnya, putusan MK atas Pasal 96 UU Ketenagakerjaan ini tak bisa diartikan bahwa secara otomatis aturan daluarsa menuntut hak atas PHK seperti diatur dalam Pasal 171 UU Ketenagakerjaan menjadi batal.

“Menurut saya, itu hal berbeda. Pasal 96 UU Ketenagakerjaan adalah tentang hak yang timbul dari hubungan kerja. Sementara Pasal 171 UU Ketenagakerjaan adalah hak yang timbul dari pemutusan hubungan kerja,” kata Juanda ketika dihubungi hukumonline lewat telepon. 

Tags: