Menteri Keuangan sebagai pengawas dan pembina usaha perasuransian di Indonesia, dari awal-awal sebenarnya telah menyadari bahwa konsekuensi hukum dari penerbitan surety bond tersebut tidaklah mudah. Oleh karena itu, ijin untuk menerbitkan surety bond dibatasi secara ketat. Dan malah pada awalnya, Kepres no. 14A tahun 1980 hanya diberikan pada PT Persero Asuransi Jasa Raharja.
Dalam perkembangannya, ijin penerbitan tersebut melalui Keputusan Menteri Keuangan RI (KMK RI) No:761/KMK..013/1992 diperluas kepada 20 perusahaan asuransi. Kemudian berdasarkan Surat Direktur Asuransi No. s.2272/DK/2001 tanggal 16 Mei 2001 yang ditujukan ke Pertamina, ada 22 perusahaan asuransi yang berhak untuk menerbitkan surety bond.
Sementara untuk penerbitan surety bond sebagai penjaminan pembayaran kewajiban importir terhadap bea impor yang terutang pada negara (custom bond), Menteri Keuangan, berdasarkan KMKNno.108/KMK.01/1995, hanya memberikan ijin pada 15 perusahaan asuransi. Artinya, tidak semua perusahaan asuransi yang diperbolehkan oleh KMK RI No.761/KMK.013/1992 untuk menerbitkan surety bond, dapat menerbitkan surety bond untuk garansi pembayaran bea impor yang terutang (customs bond).
Dasar hukum penerbitan surety bond
Sebenarnya, KMK RI no. 761/KMK.013/1992 sebagai dasar kewenangan dari perusahaan-perusahan yang ditetapkan dapat menerbitkan surety bond dalam pekerjaan-pekerjaan pemborongan ataupun perdagangan yang dibiayai oleh APBN dan KMK RI No. 108/KMK.01/1995 sebagai dasar wewenang penerbitan customs bond, tidak mengatur ataupun memberikan penjelasan tentang prinsip-prinsip yang dianut oleh lembaga penjaminan ataupun tata cara penerbitan penjaminan tersebut secara lengkap. Keputusan Menteri tersebut lebih mengingatkan dalam konsideransnya agar prinsip-prinsip penerbitan penjaminan tersebut disesuaikan dengan prinsip-prinsip usaha perasuransian berdasarkan UU No. 2 tahun 1992.
Prinsip-prinsip penjaminan dalam surety bond itu sendiri sebenarnya telah lama dikenal dalam KUH Perdata. Jaminan tertulis yang diterbitkan oleh perusahaan asuransi tersebut lebih dikenal dengan lembaga penjaminan/penanggungan perorangan (borgtocht) yang diatur dari mulai Pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUH Perdata.
Dari definisi penanggungan yang diterangkan oleh Pasal 1820 ditekankan bahwa penjaminan merupakan persetujuan yang bersifat accesoir yang pelaksanaannya akan sangat bergantung kepada perjanjian pokok yang mendasari terbitnya perjanjian jaminan tersebut. Artinya, bila perjanjian pokok yang melatarbelakangi terbitnya surety bond tersebut batal, maka akan mengakibatkan pula perjanjian surety bond sebagai perjanjian accesoir -nya batal (1821 KUH.Perdata)
Sifat accesoir tersebut sangat penting dipahami oleh perusahaan asuransi sebagai alasan penerbitan surety bond. Artinya, surety bond tidak bisa diterbitkan begitu saja atau berdiri sendiri sesuai dengan kebutuhan dari pihak yang membutuhkannya. Akan tetapi, harus didasarkan oleh adanya perjanjian pokok yang sah dari kedua belah pihak berkontrak (misalnya antara pemberi kerja (boheer) dengan kontraktor dalam perjanjian pemborongan) yang membutuhkan diterbitkannya komitmen penanggungan resiko atas kemungkinan tidak dilaksanakannya prestasi kontraktor seperti yang diperjanjikan para pihak yang berkontrak dalam kontrak pemborongan tersebut.