Surety Bond dan Kepastian Hukum Penjaminan di Indonesia
Kolom

Surety Bond dan Kepastian Hukum Penjaminan di Indonesia

Surety bond merupakan suatu produk inovatif perusahaan asuransi sebagai upaya pengambilalihan potensi resiko kerugian yang mungkin dapat dialami oleh salah satu pihak atas kepercayaan yang diberikannya pada pihak lain dalam pelaksanaan kontrak yang telah disepakati oleh mereka.

Bacaan 2 Menit

Poin 1 sampai dengan 2 dari angka 10 di atas secara prinsip sebenarnya telah dilakukan oleh perusahaan asuransi sebelum mengabulkan permohonan penerbitan surety bond, walaupun belum ada term of reference diterbitkan oleh Departemen Keuangan sebagai acuan dari penilaian poin 1 dan 2 tersebut diatas. Sementara poin 3 sebagai salah satu syarat yang secara ketat dipatuhi oleh perbankan sehubungan dengan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang harus diperhitungkan akibat dari kewajiban membayar yang mungkin timbul (contigent liabilities) tersebut, bagi perusahaan asuransi masih tetap dapat diatasi dengan mekanisme reasuransi.

Artinya bila Undang-Undang Perbankan no 7 tahun 1992 yang kemudian diperbaiki dengan UU No.10 tahun 1998, yang menjadi dasar dari Serat Edaran BI tersebut dengan tegas menolak permohonan penerbitan bank garansi yang jumlah nilai penjaminannya  diperhitungkan akan melabihi BMPK dari bank tersebut, maka bank akan dengan tegas menolak permohonan tersebut. Sementara bagi pihak asuransi, hal tersebut tidak menjadi permasalahan dengan adanya pola reasuransi tersebut.

Hal yang mungkin belum dilakukan oleh pihak asuransi adalah pelaksanaan poin 4 dari persyaratan yang diajukan  bank di atas. Poin 4 tentang kontra garansi yang dalam angka  11 SE DIR BI tersebut dijelaskan sebagai berikut: "sehubungan dengan   angka 10.4 di atas perlu dijelaskan bahwa kontra garansi dapat berupa:

1. Kontra garansi dari bank luar negeri yang bonafid.

2. Setoran sebesar 100% dari nilai garansi yang diberikan

3. Kontra garansi lainnya yaitu kontra garansi yang diperoleh dari pihak yang dijamin dengan nilai yang memadai untuk menanggung kerugian yang mungkin diderita oleh bank apabila garansi tersebut pada waktunya direalisir& 

Perbedaan pemahaman antara  lembaga perbankan dengan lembaga perasuransian terhadap  penjaminan tersebut, membuat  sikap lembaga perbankan dengan lembaga asuransi tentang jaminan (collateral ataupun kontra garansi)  sebagai syarat dari penerbitan  surat penjaminan tersebut berbeda. Bank melihat penerbitan dari bank guarantee sebagai bagian dari aktifitas pemberian kredit yang menimbulkan contigent liabilities, menerapkan syarat pemberian kredit yang melihat collateral sebagai back-up dari bank guarantee  yang diberikannya.

Sementara bagi lembaga perasuransian yang tidak dapat melihat hal ini sebagai kredit atas keterbatasan bidang usaha sebagai Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB)  sampai saat ini belum melihat collateral  sebagai suatu solusi kepastian penyelesaian kewajiban surety dalam hal terjadinya klaim pencairan surety bond dari pihak obligee.

Di sisi lain,  upaya pihak asuransi untuk menemukan solusi collateral  dengan mewajibkan principal untuk menandatangani persetujuan ganti rugi (indemnity agreement) hampir tidak memberikan perbedaan apa-apa. Karena walaupun indemnity agreement tersebut tidak ditandatangani, hak subrogasi dari perusahaan asuransi untuk mendapatkan penggantian dari debitur atas telah diselesaikannya  kewajiban debitur tersebut kepada obligee adalah merupakan hak yang timbul demi hukum (lihat pasal 1402 ayat 3 di atas). Artinya tanpa adanya indemnity agreement tersebut, perusahaan asuransi tetap dapat melaksanakan hak subrogasinya.

Tentu saja upaya pengajuan hak subrogasi terhadap principal tidak selalu dapat terlaksana dengan mulus. Karena, debitur sering dengan niat tidak baik hendak melepaskan diri dari kewajibannya terhadap perusahaan asuransi tersebut. Sayangnya, sikap dari perusahaan asuransi lebih cenderung pada posisi yang koperatif dengan principal dan selalu menekankan pelaksanaan prestasi untuk pencairan klaim surety bond berdasarkan adanya pernyataan ataupun statement wanprestasi dari principal, yang bagi kalangan yang menerima jaminan/obligeee/kreditur keadaan ini melambangkan ketidakpastian hukum dari surety bond itu sendiri.

Kelebihan yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi terhadap produk jasa surety bond melalui kemudahan-kemudahan aplikasi  serta juga murahnya biaya penerbitannya, hanya masih memberikan  sisi-sisi positif pada applicant yang mungkin sangat kesulitan memenuhi persyaratan-persyaratan yang diajukan oleh bank dalam penerbitan bank guarantee.

Akan tetapi, muaranya tentu saja bagaimana surety bond tersebut memberikan kepastian atau kepercayaan pada pihak yang menerima surety bond tersebut sebagai mekanisme penjaminan. Ketidakpastian pencaiaran surety bond tersebutlah yang menjadi permasalahan bagi para obligee untuk menerima surety bond sebagai  alat penjaminan oleh perusahaan asuransi.

Tentu saja hal ini harus mendapatkan kajian yang serius dari pihak asuransi agar surety bond yang diterbitkannya dapat diterima oleh kalangan dunia usaha. Kalaupun misalnya perusahaan asuransi tidak dapat meminta collateral sebagai jaminan dari principal atas diterbitkannya surety bond tersebut, paling tidak harus ada upaya untuk mengurangi ketergantungan prestasi asuransi tersebut terhadap sikap debitur/principal yang sering sekali sangat sulit untuk mengakui kesalahahan yang dilakukannya.

Konkretnya, harus ada ketegasan dimasukkannya prinsip irrevocable (surety bond yang telah diterbitkan tidak dapat ditarik kembali) dan prinsip unconditional (pembayaran tanpa syarat) dalam hal telah terjadinya wanprestasi. Ini perlu dalam upaya menjamin posisi hukum perusahaan asuransi penerbit dalam hal terjadinya klaim pencairan surety bond akibat dari wanprestasi debitur. Contohnya: sebelum menerbitkan surety bond, pihak asuransi harus terlebih dahulu  menganalisa perjanjian pokok yang mendasari terbitnya penjaminan tersebut.

Dalam perjanjian pokok tersebut, harus sangat jelas diatur tentang syarat-syarat terjadinya wanprestasi oleh salah satu pihak. Syarat-syarat ini secara tegas memberikan hak bagi pihak yang dirugikan untuk mengajukan pemutusan kontrak dan bahkan menuntut ganti rugi atas tidak dilaksanakannya perikatan-perikatan dalam kontrak utama tersebut. Hak untuk pemutusan kontrak tersebut haruslah mengecualikan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata yang dengan pengecualian pasal tersebut, pemutusan kontrak yang terjadi akibat dari terjadinya wanprestasi tidak harus dilakukan melalui pengadilan.

Penegasan hal-hal yang disebut dalam paragraf di atas akan memberikan posisi yang lebih kuat bagi perusahaan asuransi pada dua sisi sekaligus. Pihak asuransi akan dengan cepat dapat merespons klaim pencairan dari obligee. Sementara di sisi lain, hak hukum dari perusahaan asuransi untuk meminta penggatian  (subrogasi) terhadap principal/ debitur utama menjadi lebih kuat.

Penerapan pada empat  poin di atas secara tegas akan meningkatkan kepastian hukum dari pihak asuransi untuk melakukan pencairan surety bond tersebut dalam hal telah terjadinya wanprestasi tanpa takut hak subrogasinya mendapat tantangan dari principal. Empat poin itu adalah pengesampingan hak istimewa penanggung seperti yang diatur dalam KUH perdata, penegasan sifat irrecovable dan unconditional terhadap surety bond, penegasan tahap-tahap ataupun alasan-alasan terjadinya wanprestasi dalam kontrak utama, dan pencantuman secara tegas pengecualian pasal 1266 dan 1267 KUH perdata pada kontrak utama. Keadaan ini tentu saja akan menaikkan reputasi dari surety bond di kalangan dunia usaha.

Konflik surety bond dan Pengadilan Niaga

Adanya potensi konflik yang disebabkan oleh permasalahan dalam pencairan surety bond tidak saja akan memberikan efek kurangnya kepercayaan pelaku usaha terhadap produk penjaminan yang diterbitkan oleh perusahaan asuransi tersebut. Akan tetapi, juga potensi perusahaan asuransi sebagai penerbit untuk diperkarakan di depan pengadilan.

Dengan hadirnya Pengadilan Niaga, umumnya obligee yang merasa telah mempunyai hak untuk mengklaim pencairan dari surety bond tersebut akan mengambil tindakan hukum dengan mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi yang menerbitkan penjaminan tersebut. Perkara serupa telah pernah diajukan kepada salah satu perusahaan asuransi milik negara atas tidak dicairkannya surety bond yang digunakan untuk menjamin promissory notes yang diterbitkan oleh principal.

Contoh di atas harus menjadi perhatian penting dunia asuransi. Karena potensi permohonan pailit yang menurut UU no. 4 tahun 1998 dapat diajukan secara langsung pada perusahaan asuransi, tidak selalu disebabkan oleh konflik antara penanggung dan tertanggung dalam konteks perjanjian asuransi seperti yang diatur dalam Pasal 246 dan 247 KUH Dagang  serta UU. No. 2 tahun 1992.

Ricardo Simanjuntak, SH.LL.M. adalah pengamat hukum bisnis dam advokat di Firma Hukum Gani Djemat & Partner

 

Artikel ini dipresentasikan pada acara panel diskusi yang diselenggarakan oleh LPHI dengan topik "Tinjauan & Aspek Hukum Surety Bond sebagai Alternatif Bank Garansi dalam Bidang Jasa Kontraktor" pada 18 Oktober 2001 di Jakarta.

Tags: