Akan tetapi, tidak berarti diberikannya hak untuk menerbitkan surety bond hanya pada perusahaan asuransi yang telah terseleksi seperti yang ditegaskan oleh KMK tersebut membuat permasalahaan surety bond telah habis. Terbukti keengganan banyak kontraktor, kreditur ataupun investor, khususnya investor asing, terhadap kepastian penjaminan yang ditawarkan oleh surety bond tersebut mengharuskan pihak perasuransian melihat ada permasalahaan lain selain kualitas dan bonafiditas dari perusahaan asuransi tersebut.
Surety bond versus bank garansi
Banyaknya kemudahan-kemudahan yang didapatkan oleh kontraktor dengan dalam mendapatkan jasa penjaminan surety bond dari perusahaan asuransi dibandingkan dengan permohonan bank garansi melalui bank, seperti proses permohonan yang lebih cepat, surety charge (semacam premi) yang lebih murah dibandingkan dengan provisi atas penerbitan bank garansi, ternyata masih hanya mampu menarik perhatian dari para kontraktor ataupun debitur yang membutuhkannya.
Sebaliknya, pihak kreditur, pemberi kerja, ataupun obligee masih lebih meyakini bank garansi sebagai alat penjaminan yang dapat melindungi potensi kerugian yang mungkin dialaminya apabila kontraktor wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak yang telah mereka sepakati.
Permasalahan tersebut lebih disebabkan oleh sifat alamiah dari surety bond tersebut sebagai produk yang ketentuan penerbitannya tidak bisa lepas dari prinsip-prinsip perasuransian, yang dalam beberapa hal, memberikan kelemahan pada pelaksanaan pencairan klaim surety bond tersebut dalam hal principal wanprestasi. Persayaratan pengajuan permohonan penerbitan surety bond terhadap perusahaan asuransi tidak serumit syarat-syarat yang diajukan untuk penerbitan bank guarantee oleh pihak bank yang penerbitannya harus sejalan dengan prinsip-prinsip pelaksanaan perbankan yang prudensial.
Adanya ketentuan tentang pelaksanaan 5 C (Character, Capacity, Capability, Capital dan Collateral) membuat ketergantungan pihak bank terhadap principal lebih kecil dalam hal harus dilakukannya pencairan bank guarantee tersebut. Bank akan berani hanya melihat pada alasan-alasan hukum telah terjadinya wanprestasi oleh pihak yang dijamin (principal) tanpa harus takut hak subrogasinya akan mengalami persoalan bila tidak terlebih dahulu mendapat pernyataan pengakuan wanprestasi dari principal. Hal ini dapat terjadi karena pada umumnya Bank telah memegang jaminan yang cukup sebagai kontra garansi terhadap bank guarantee yang diterbitkannya.
Angka 10 dari SE DIR BI no.23/5/UKU tanggal 28 Februari 1991 menegaskan bahwa dalam pemberian bank guarantee bank harus terlebih dahulu melakukan penelitian dan penelaahan yang pada hakekatnya sama dengan penelaahan yang dilakukan dalam pemberian kredit. Hal-hal yang harus diteliti tersebut dijelaskan oleh angka 10 tersebut sebagai berikut:
1. Meneliti bonafiditas dan reputasi pihak yang dijamin.
2. Meneliti sifat nilai transaksi yang akan dijamin, sehingga dapat diberikan garansi yang sesuai.
3. Menilai jumlah garansi yang akan diberikan menurut kemampuan bank.
4. Menilai kemampuan pihak yang akan dijamin untuk memberikan kontra garansi sesuai dengan kemungkinan terjadinya resiko.