Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit dalam UU Kesehatan Masih Bermasalah
Kolom

Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit dalam UU Kesehatan Masih Bermasalah

Seharusnya, sifat dari pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit tidak hanya meliputi ruang lingkup yang luas, tetapi juga bersifat terpusat, yaitu memposisikan rumah sakit sebagai pusat atau poros dalam pola pertanggungjawaban hukum.

Bacaan 5 Menit
  1. Rumah sakit hanya bertanggung jawab terhadap dokter tetapnya. Rumah sakit tidak bertanggung jawab terhadap dokter tidak tetap yang melakukan tindakan medis di rumah sakit (Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 18/Pdt.G/2006/PN.PLG jo. Putusan Pengadilan Tinggi Palembang Nomor 62/PDT/2006/PT.PLG jo. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1752/K/Pdt/2007 jo. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 352/PK/PDT/2010);
  2. Rumah sakit hanya sebagai penyedia sarana dan prasarana, bukan sebagai pengendali atas tindakan medis yang dilakukan oleh dokter. Tindakan medis yang dilakukan oleh dokter merupakan ranah kewenangan dan perwujudan ruang lingkup profesionalitas dari dokter. (Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 18/Pdt.G/2006/PN.PLG jo. Putusan Pengadilan Tinggi Palembang Nomor 62/PDT/2006/PT.PLG jo. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1752/K/Pdt/2007 jo. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 352/PK/PDT/2010, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 102/PDT.G/2016/PN.Jkt.Brt, Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 577/PDT/2017/PT.DKI, Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor 38/Pdt.G/2016/PN Bna, Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor 111/PDT/2010/PT BNA);
  3. Hubungan hukum antara rumah sakit dan dokter merupakan hubungan yang berbentuk kerja sama atau kemitraan, di mana dalam hubungan tersebut tanggung jawab hukum rumah sakit sangat terbatas, yaitu rumah sakit hanya menyediakan fasilitas (Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 325/Pdt.G/2017/PN.Sby).

Di sisi lain, perluasan pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit dalam implementasinya didasarkan pada tujuh hal, yaitu sebagai berikut:

  1. Rumah sakit bertanggung jawab terhadap dokternya, meskipun merupakan dokter tidak tetap atau dokter visit (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1752 K/Pdt/2007, Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 352 PK/Pdt/2010, Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 146/Pdt.G/2019/PN.Ptk);
  2. Rumah sakit bertanggung jawab terhadap dokter yang melaksanakan tindakan medis di dalam lingkungan rumah sakit, tidak peduli apapun status pekerja atau hubungan kerja antara dokter dan rumah s Bentuk dan sifat hubungan hukum antara dokter dan rumah sakit tidak relevan bagi pasien karena hal tersebut merupakan hubungan internal antara dokter dan rumah sakit (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1752 K/Pdt/2007, Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 352 PK/Pdt/2010);
  3. Rumah sakit mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap dokter (Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 630/Pdt.G/2015/PN.Bks, Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 462/Pdt/2016/PT.BDG, Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1366 K/Pdt/2017, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 569/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Pst);
  4. Rumah sakit bertanggung jawab terhadap dokternya karena terdapat hubungan hukum antara rumah sakit dan dokter serta Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dibuat oleh rumah sakit sebagai penjaminan mutu terhadap dokter dan tindakan medisnya. (Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 23/PDT/2018/PT.DKI);
  5. Rumah sakit bertanggung jawab terhadap kompetensi dan kewenangan dokter yang bekerja di rumah sakit (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim, Putusan Pengadilan Negeri Madiun Nomor 5/Pdt.G/2015/PN Mad);
  6. Rumah sakit bertanggung jawab terhadap kualitas sarana prasarana rumah sakit (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 779 K/Pdt/2014);
  7. Rumah sakit bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pengawasan dokter melalui Dewan Pengawas Rumah Sakit (Putusan Pengadilan Negeri Sangatta Nomor 511/Pdt.G/2019/PN Sgt).

Dapat disimpulkan, pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit yang diatur di dalam UU Rumah Sakit dalam implementasinya dapat menimbulkan berbagai interpretasi. Seharusnya, sifat dari pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit tidak hanya meliputi ruang lingkup yang luas, tetapi juga bersifat terpusat, yaitu memposisikan rumah sakit sebagai pusat atau poros dalam pola pertanggungjawaban hukum. Seharusnya, jika peraturan diterapkan secara konsisten, gugatan pasien kepada rumah sakit hanya ditujukan kepada rumah sakit dan tidak perlu mengikutsertakan dokter yang melakukan tindakan medis karena dokter tersebut merupakan bagian dari rumah sakit serta sedang dalam melaksanakan tugas terkait dengan kepentingan dan kewajiban hukum rumah sakit (Putusan Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor 22/PDT/2020/PT PTK, Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 86/Pdt.G/2020/PN Pwt, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 350/PDT/2012/PT.DKI, Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 215 K/Pdt/2014, Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 225/PDT.G/2014/PN.BDG, Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 369/Pdt/2015/PT Bdg, Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Kelas IA Nomor 176/Pdt.G/2021/PN Blb). Pola pertanggungjawaban hukum secara terpusat dapat memberikan manfaat bagi rumah sakit, yaitu agar rumah sakit mengutamakan profesionalitas dalam menjalankan operasional atau bisnisnya. Sedangkan, bagi dokter dan pasien, pola pertanggungjawaban tersebut dapat memberikan kepastian hukum (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 779 K/Pdt/2014).

Seharusnya ada dua hal yang ditegaskan di dalam UU Kesehatan mengenai pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit. Pertama, ruang lingkup tanggung jawab hukum rumah sakit. Kedua, sifat yang terpusat dari pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit. UU Kesehatan Pasal 193 seharusnya menyatakan bahwa, “Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum dan terpusat terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh Sumber Daya Manusia Kesehatan Rumah Sakit.”

*)Wahyu Andrianto, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan hasil kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait