Tanggung Jawab Maskapai Saat Penumpang Tertular Covid-19
Berita

Tanggung Jawab Maskapai Saat Penumpang Tertular Covid-19

Risiko penularan Covid-19 tetap menghantui penumpang pesawat. Perlu diketahui, penumpang pesawat berhak mendapat ganti rugi jika tertular Covid-19 saat menggunakan transportasi udara.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Dosen Prodi Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya spesialisasi Hukum Udara dan Antariksa, Ridha Aditya Nugraha.
Dosen Prodi Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya spesialisasi Hukum Udara dan Antariksa, Ridha Aditya Nugraha.

Pandemi Covid-19 berpengaruh buruk terhadap lalu lintas transportasi masyarakat khususnya penerbangan. Prosedur ketat mulai dari penerapan 3M (memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan) hingga tes negatif Covid-19 harus dilakukan penumpang saat menggunakan transportasi udara. Penerapan prosedur tersebut untuk mencegah penyebaran Covid-19 melalui transportasi udara.

Meski demikian, risiko penularan Covid-19 tetap menghantui penumpang pesawat. Perlu diketahui, penumpang pesawat berhak mendapat ganti rugi jika tertular Covid-19 saat menggunakan transportasi udara. Penularan tersebut dikategorikan sebagai cidera fisik yang dibuktikan kejadian penularannya saat penumpang menggunakan pesawat. Dasar hukum yang mengikat pada kewajiban ganti rugi tersebut terdapat pada Undang-Undang 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dosen Prodi Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya dengan spesialisasi Hukum Udara dan Antariksa, Ridha Aditya Nugraha, menyampaikan penumpang pesawat dapat meminta ganti rugi jika terpapar Covid-19 saat berpergian. “Dalam rezim hukum udara berlaku the airline is liable, maksudnya maskapai yang bertanggung jawab,” jelas Ridha dalam Hukumonline Academy “Naik-Turun Hukum Penerbangan Kala Pandemi”, Rabu (7/4).

Ridha melanjutkan ganti-rugi tersebut dapat dilakukan jika ada gugatan dari penumpang terlebih dahulu. Untuk memudahkan, penumpang dapat menggugat maskapai untuk meminta ganti-rugi akibat penularan Covid-19. Selain itu, maskapai juga terikat kontrak dengan penumpang melalui tiket pesawat. (Baca: Pentingnya Menjaga Kualitas Layanan Penumpang bagi Maskapai)

“Untuk mempermudah konsumen, jangan sampai mereka yang transit dua kali bingung mau gugat ke mana. UU Perlindungan Konsumen berlaku di sini,” jelas Ridha.

Nantinya, pihak maskapai akan berkoordinasi dengan otoritas bandara untuk menemukan fakta penularan Covid-19. Dalam penemuan fakta tersebut akan ditentukan pihak yang harus bertanggung jawab memberi ganti rugi kepada penumpang. “Gugat dulu via airline. Nanti airline yang meneruskan jika faktanya ini kesalahan di pihak bandara maka ada pembicaraan di belakang untuk pertanggungjawabannya,” jelas Ridha.

Dalam artikel Hukumonline “Tanggung Jawab Bandara dan Maskapai Penerbangan di Tengah Pandemi”, Ridha juga menyampaikan dalam situasi pandemi Covid-19, kesehatan penumpang termasuk lingkup bodily injury. Tertularnya penumpang, baik di dalam pesawat maupun dalam perjalanan menuju (embarking) dan turun (disembarking) dari pesawat, menjadi tanggung jawab maskapai penerbangan maupun operator bandara. Keduanya saling berbagi tanggung jawab dengan tingkatan berbeda.

Skenario operasional bandara menciptakan ragam variasi dalam menentukan kapan tanggung jawab bandara dimulai dan maskapai berakhir. Bisa jadi tanggung jawab Angkasa Pura I lebih besar ketimbang Angkasa Pura II, atau sebaliknya, setelah menelaah strategi mitigasi resiko masing-masing. Divisi hukum masing-masing operator bandara perlu mengidentifikasi segala probabilitas yang mungkin tercipta. Tujuannya tidak lain meminimalisir kompensasi sebagai wujud tanggung jawab (liability) yang perlu diberikan ketika terjadi kasus penularan Covid-19 kepada penumpang.

Bodily injury atau cedera fisik yang dimaksud mensyaratkan terjadinya kontak fisik dengan penumpang. Beberapa kasus yang lazim terjadi dalam kondisi normal diantaranya penumpang cedera akibat tertimpa bagasi kabin atau ketumpahan minuman panas saat disungguhkan kru pesawat. Termasuk pula kasus penumpang jatuh terpeleset ketika melintasi garbarata. Maskapai penerbangan bertanggung jawab mutlak terhadap keadaan penumpang. Hal ini berlaku terlepas ada tidaknya unsur kesengajaan atau kelalaian (negligence) kru pesawat beserta pihak lain yang ditunjuk sebagai agennya.

Penerbangan Domestik dan Hukum Nasional

Ridha juga menyampaikan UU Penerbangan beserta Peraturan Menteri Perhubungan No.77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara hadir sebagai hukum positif yang relevan. Rezim hukum nasional sebagaimana umumnya berlaku bagi penerbangan domestik banyak terinspirasi konsep Warsaw Convention 1929 maupun Montreal Convention 1999. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengadopsi.

Pasal 141 ayat (1), (2), dan (3) UU Penerbangan menyebutkan: (1) Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.

(2) Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.

(3) Ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang telah ditetapkan.“

Menurut Ridha, konten di atas menyebutkan cedera fisik atau luka-luka penumpang sebagai perhatian utama. Seandainya mengacu kepada Montreal Convention 1999, maka definisi luka-luka dapat diperluas hingga kesehatan penumpang.

Pasal 3 Permenhub No. 77 Tahun 2011 menyebutkan, “Jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a ditetapkan sebagai berikut:

a. penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat udara karena akibat kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara diberikan ganti kerugian sebesar Rp 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta Rupiah) per penumpang;

b. penumpang yang meninggal dunia akibat suatu kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara pada saat proses meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat udara atau pada saat proses turun dari pesawat udara menuju ruang kedatangan di bandar udara tujuan dan/atau bandar udara persinggahan (transit) diberikan ganti kerugian sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah) per penumpang;

e. penumpang yang mengalami luka-luka dan harus menjalani perawatan di rumah sakit, klinik atau balai pengobatan sebagai pasien rawat inap dan/atau rawat jalan, akan diberikan ganti kerugian sebesar biaya perawatan yang nyata paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta Rupiah) per penumpang.

Besaran kompensasi ditentukan berdasarkan letak terjadinya luka-luka; atau dalam hal ini di mana penularan Covid-19 kepada penumpang terjadi. Permenhub No. 77 Tahun 2011 memberikan angka kompensasi yang tinggi seandainya penumpang tertular Covid-19 kemudian meninggal dunia. Namun, perihal luka-luka dibatasi hanya untuk biaya perawatan nyata. Menurut Ridha, setidaknya hal ini dapat membuka kesempatan bagi Pemerintah untuk meminta penggantian biaya perawatan kepada maskapai maupun bandara guna menyelamatkan anggaran negara.

Tags:

Berita Terkait