Goodwill
Ricardo berpendapat, seharusnya Pasal 84 UU No. 4/1998 bisa menjadi dasar gijzeling yang dihidupkan kembali melalui Perma No. 1 tahun 2000, sedangkan hukum acaranya tetap mengacu pada HIR.
Kalau dulu tahun 1964 (gijzeling, red) bisa diberlakukan, lalu kenapa saat ini tidak, tukasnya. Ricardo menilai Perma No. 1 tahun 2000 tak lebih sekedar lip service. Ia berpendapat, untuk mengenakan paksa badan terhadap debitor pailit yang membandel, yang terpenting adalah good will untuk melaksanakan, seperti yang diberlakukan dalam perpajakan.
Memang dalam amandemen UU Kepailitan (UU No. 37 tahun 2004, red) sudah dilakukan pembahasan khusus mengenai pemberian kewenangan itu. Namun Ricardo sangat menyayangkan hasil pembahasan tersebut. Sebab, dia melihat tidak terjadi perubahan dari ketentuan sebelumnya, sehingga hal ini tak ubah seperti pengulangan saja.
Bagaimana kita bisa memastikan putusan pengadilan akan dipatuhi kalau tidak diatur dalam undang-undang mengenai konsekwensi atau sanksi hukumnya. Misalnya diatur mengenai contempt of court, atau penentangan terhadap putusan pengadilan niaga dapat memberikan akibat pidana, demikian Ricardo.
Kendatipun UU No.37/2004 telah melakukan serangkaian penyempurnaan terhadap UU No.4/1998, namun ada beberapa hal yang perlu dikritisi. Misalnya, UU No.37/2004 dinilai kurang memberikan sanksi tegas terhadap debitor pailit yang bandel. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi kalau kurator kerap mengalami kesulitan untuk menjalankan tugasnya mengumpulkan aset debitor pailit. Terkadang, sejak putusan pailit diucapkan, debitor sudah menyiapkan langkah-langkah untuk menyulitkan ruang gerak kurator dalam menjalankan tugasnya.
Ricardo Simanjuntak, praktisi kepailitan, menyayangkan UU No.37/2004 kurang memberikan ancaman sanksi pidana bagi debitor pailit yang membandel. Menurutnya, kondisi saat ini menunjukan walau sudah diputus pailit pun banyak debitor yang tidak mematuhi putusan pailit tersebut. Seharusnya, kata Ricardo,kalau ada penentangan semacam ini, debitor bisa dikenai sanksi pidana. Ia juga menyangkan ketentuan mengenai paksa badan (gijzeling) dalam Undang-Undang Kepailitan yang tidak dapat diimplementasikan.
Sekarang kan kita membicarakan bagaimana kekuatan hukum putusan hakim peradilan niaga. Dalam ketentuan pasal 84 UU Kepailitan yang lama (UU No. 4/1998, red) disebutkan apabila debitor membandel (tidak mematuhi putusan, red) dapat dilakukan gijzeling atau lembaga paksa badan. Tapi ternyata dalam prakteknya tidak terlaksana, ujarnya kepada hukumonline, usai seminar kepailitan yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (23/11).