​​​​​​​Tatanan New Normal dan Kewarasan Baru Berdemokrasi Oleh: Fajar Laksono Suroso*)
Kolom

​​​​​​​Tatanan New Normal dan Kewarasan Baru Berdemokrasi Oleh: Fajar Laksono Suroso*)

​​​​​​​‘Kewarasan’ baru dibutuhkan demi memproteksi demokrasi dari manuver berbahaya para pemimpin politik.

Bacaan 2 Menit

Untuk menjadi pemimpin politik, cukup ikuti rambu-rambu demokrasi yang digariskan konstitusi. Tak perlu ngoyo (memaksakan diri) dan nggegemangsa (mendahului waktu). Berusaha keras dan berdoa agar Tuhan selalu dipihaknya, sembari diikuti usaha betul-betul agar senantiasa berada di jalan-Nya. Jangan terus-terusan minta dibela Tuhan, tapi perilakunya menuhankan yang lain. Setelah berkuasa, jangan pula menyangka sebagai orang yang telah dipilih Tuhan (the chosen people), lantas merasa bebas merdeka melayani dirinya sendiri. Sementara, rakyat diserahkan pada nasibnya masing-masing.

Dengan ‘kewarasan’ baru, jadilah pemimpin sejati, yakni penempuh jalan sunyi. Jalan sunyi itu disebabkan oleh satu kata: tanggungjawab. Seperti dikutip Alfan Alfian (2010:9), Collin Powell mengatakan, “memimpin itu sepi. Keputusan akhir terletak pada pemimpin, dan para pemimpin yang kuat menerima beban kedudukannya”. Butuh kesunyian dan kejernihan agar keputusannya tidak gegabah dan yang terbaik bagi rakyat. Kesunyian diperoleh dengan menjaga jarak (distancing) dari semua anasir otoriter. Kejernihan didapat dari kecerdasan akal untuk menampik persentuhan dengan nalar despotik dan hukum yang oppresive (menindas).

Sejalan dengan prinsip teokrasi dalam UUD 1945, para pemimpin politik akan mempertanggungjawabkan semua laku di hadapan rakyat dan Tuhan. Proposal pertanggungjawaban akan mulus tatkala para pemimpin sekalian dengan keputusan-keputusannya diterima dan dicintai rakyat. Karena dengan begitu, besar peluang untuk juga diterima Tuhan. Terkait ini, teringat satu esai Gus Mus (2019:58) perihal hadits sahih Rasullullah SAW untuk menandai seseorang dicintai Allah atau tidak. Seorang hamba yang memeroleh penerimaan dan dicintai di bumi, itulah yang dicintai Allah, tulis Gus Mus. Sebaliknya, yang dibenci di bumi, itulah yang dibenci-Nya. Atas dasar itu, jikalau ingin dicintai Allah, maka para pemimpin politik harus berusaha diterima dan dicintai rakyatnya di bumi. Kalau di bumi saja dibenci, berarti pemimpin itu memang tidak dicintai Allah. Naudzubillah!

Agar dicintai rakyat dan Tuhan, sekaligus beriring jalan dengan esensi demokrasi menurut UUD 1945, tatanan ‘kewarasan’ baru meniscayakan para pemimpin politik yang sibuk menuntaskan tanggungjawabnya dengan jujur. Shakespeare berkata: tidak tenanglah letak kepala yang menjunjung mahkota! Tidak tenang karena tanggungjawab dan teladannya. Bukan gaduh karena ‘kemaruk kekuasaan’, mencari-cari celah untuk terus dan terus berkuasa. Benar kata Levitsky dan Ziblatt (2019:81), demokrasi punya konstitusi tertulis. Kendatipun dengan rumusan terbaik, konstitusi tak cukup kuat diandalkan untuk menjaga demokrasi. Konstitusi membutuhkan aturan main atau norma kebajikan tak tertulis berupa kompromi dan rasa saling percaya yang disepakati dan ditegakkan bersama.

Aturan main tersirat itu terpelihara dan mentradisi manakalaparapemimpin politik dalam performa terbaik,sehat dan waras. Bukan hanya sehat lahiriah karena patuh pada protokol kesehatan Covid-19, melainkan waras juga secara batin, karena di pundaknya tertimpa beban berat berupa tanggung jawab dan keteladanan. Tatanan ‘new normal’ harus menjadi katalisator kesadaran batin para pemimpin politik, yaitu tanggungjawab dan keteladanan. Selain tentu saja, toleransi dan sikap menahan diri (institusional forbearance), dua norma fundamental bagi kelangsungan demokrasi menurut Levitsky dan Ziblatt (2019:83).

‘Kewarasan’ baru dibutuhkan demi memproteksi demokrasi dari manuver berbahaya para pemimpin politik. Juga, untuk menjauhkan figur-figur penelikung demokrasi dari pusat-pusat kekuasaan. Dengan begitu, publik yang apatis dapat kembali ‘sumringah’ berdemokrasi. Dan boleh jadi, dengan ‘kewarasan’ baru yang menjangkiti para pemimpin politik, rakyat menginisiasi satu protokol kebiasaan baru. Ialah, sering-sering mendoakan mereka. Bukan hanya dalam ritual-seremonik, melainkan doa tulus kala hening sendiri di tengah persujudan kepada Penciptanya: “Tuhan, sehatwaras-kan selalu para pemimpin!”.

Artikel ini ditulis dan dipersembahkan secara khusus seiring ulang tahun Hukumonline yang  ke-20 pada 14 Juli 2020. Terima kasih sudah 20 tahun menjadi ‘jendela luas’ bagi semua orang yang ingin membaca, menyaksikan, dan mencermati panorama dan fenomena hukum secara lengkap dan menarik. Dirgahayu Hukumonline. Tetap cerdas, kritis, dan bertanggungjawab. Terus berjaya!

*)Fajar Laksono Suroso, Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri Mahkamah Konstitusi

Catatan Redaksi:

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan bagian dari Kolom 20 Tokoh menyambut Ulang Tahun Hukumonline yang ke-20.

Tags:

Berita Terkait