Teknologi bagi Para Perempuan Penyintas dan Korban Kekerasan dalam Mengakses Keadilan
Berita

Teknologi bagi Para Perempuan Penyintas dan Korban Kekerasan dalam Mengakses Keadilan

TAF bekerja sama dengan Hukumonline, APEKSI, APKASI, dan beberapa jaringan masyarakat sipil dengan dukungan dari USAID menggelar diskusi daring sebagai dukungan terhadap perempuan penyintas dan korban kekerasan dalam mengakses hak dan keadilan.

Oleh:
CT-CAT
Bacaan 3 Menit
Teknologi bagi Para Perempuan Penyintas dan Korban Kekerasan dalam Mengakses Keadilan
Hukumonline

Meski telah memiliki payung hukum, tak dapat dimungkiri perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan di Indonesia belumlah maksimal. Pada praktiknya, upaya menciptakan ruang aman bagi perempuan penyintas belum juga ideal dan terbentur sejumlah tantangan, seperti keberadaan sejumlah pasal bias dan tidak representatif; perilaku aparat yang tidak berpihak pada korban; hingga proses berbelit-belit yang sering kali merugikan dari sisi emosional maupun finansial.

 

Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2020 mengungkapkan, pada sepanjang bulan Maret hingga Oktober 2020, terdapat peningkatan kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)—bentuk kekerasan dalam hubungan relasi sosial yang paling banyak dialami oleh perempuan Indonesia. Hal ini diperburuk oleh situasi pandemi, di mana berdasarkan laporan LBH APIK Jakarta pada bulan Maret hingga September 2020, jumlah kasus KDRT dan kekerasan berbasis gender daring mencapai 508 kasus. 

 

Kita sendiri mengenal Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga—UU No. 23 Tahun 2004 (UU PKDRT) sebagai upaya negara melindungi perempuan korban KDRT; atau KUHP untuk membikin jera predator kekerasan dan pelecehan seksual. Sayangnya, upaya ini belum sepenuhnya melindungi hak para perempuan penyintas; mengingat sisa di antaranya masih bersifat sektoral mengacu ke perbuatan masing-masing, seperti KDRT yang diatur UU PKDRT.

 

Apabila dikaitkan dengan proses penegakan hukum, perjalanan perempuan dalam mencari keadilan juga harus terganjal sejumlah tahapan sulit. Tidak jarang, perempuan justru dirugikan dalam statusnya sebagai korban maupun saksi. Absennya panduan atau pelatihan khusus bagi aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan sering kali melahirkan sejumlah prosedur yang tak berperspektif korban. Ini termasuk pertanyaan-pertanyaan tidak wajar yang justru menekan korban; visum et repertum, hingga victim blaming dan sejumlah bentuk penghakiman bagi perempuan.

 

Namun, berbagai layanan telah disediakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, seperti layanan bantuan hukum dan penyuluhan hukum di bawah Pemerintah Kota/Kabupaten atau Kantor Wilayah Hukum Kementerian Hukum dan HAM; Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A); hingga lembaga khusus perlindungan perempuan, misalnya Lembaga Perlindungan Perempuan Anak dan Remaja (LP-PAR) yang ada di Kota Pekalongan.

 

Akses Keadilan Lewat Teknologi  

Pada mayoritas kasus kekerasan, perempuan cenderung ada di posisi yang lebih rentan, baik secara ekonomi maupun status. Itu sebabnya, proses penanganan kasus membutuhkan kerja sama dari berbagai kembaga dalam memberikan layanan terintegrasi. Apalagi, dengan keterbatasan mobilitas di masa pandemi Covid-19, mulai dari PSBB hingga kewajiban menjalani Rapid Test/Swab yang membutuhkan biaya.

 

Didorong oleh kepedulian terhadap perlindungan perempuan penyintas dan korban di tengah keterbatasan yang ada, The Asia Foundation (TAF) bekerja sama dengan Hukumonline dan Justika mengembangkan KONEKSI. KONEKSI merupakan platform daring berbasis teknologi yang menghubungkan pengacara pro bono dengan korban kekerasan melalui konsultasi hukum gratis via chat dan telepon.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait