Tiga Catatan atas RUU Larangan Minuman Beralkohol
Utama

Tiga Catatan atas RUU Larangan Minuman Beralkohol

Pendekatan prohibitionist dinilai telah usang, berpotensi menambah over kriminalisasi terhadap masyarakat, tidak harmoni dengan KUHP dan RKUHP. DPR mengklaim RUU Larangan Minuman Beralkohol justru melindungi masyarakat dari dampak negatif, menciptakan ketertiban, dan ketentraman masyarakat dari para peminum minuman beralkohol.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Tiga Catatan atas RUU Larangan Minuman Beralkohol
Hukumonline

Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) mulai melakukan harmonisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Larangan Minuman Beralkhol (RUU Minol). Sejumlah materi muatan dalam draf menjadi sorotan terutama terkait pemidanaan bagi yang mengkomsumsi minol. Adanya sanksi pidana ini dalam RUU Larangan Minol dianggap potensi menambah over kriminalisasi terhadap warga negara.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justicer Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai RUU Larangan Minol memang memiliki dampak bai, tapi sekaligus berdampak pada persoalan kriminalisasi. Dia melihat peran negara semestinya menata kelola kebutuhan masyarakat terkait RUU Minol yang sejalan dengan perlindungan kesehatan masyarakat.

“Larangan buta terhadap minol hanya akan membuat alkohol menjadi masalah baru, setelah narkotika. Kemudian menimbulkan peredaran gelap, sistem yang korup, beban penegakan hukum, dan kerugian besar pada negara, serta masyarakat,” ujar Erasmus melalui keterangan tertulis kepada Hukumonline, Kamis (12/11/2020). (Baca Juga: Jalan Panjanga Pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol)

Menurut Eras, terdapat tiga catatan terhadap RUU Larangan Minol. Pertama, pendekatan pelarangan bagi minuman alkohol dapat memberi dampak negatif bagi peradilan pidana di Indonesia. Mencermati draf RUU Larangan Minol menggunakan pendekatan prohibitionist. Meski memuat pengecualian larangan, kata Eras, pengaturannya belum jelas karena bakal diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagi Eras, ketidakjelasan ‘pengecualian’ yang ketat dapat berdampak terjadinya kesewenangan. Terlebih, semangat prohibitionist alias larangan buta, malah membuat masalah menjadi besar.

“Seperti apa yang negara Indonesia hadapi pada kebijakan narkotika. Seluruh bentuk penguasaan narkotika dilarang dalam UU justru membuat lebih dari 40.000 orang pengguna narkotika dikirim ke penjara. Akibatnya, penjara penuh (over kapasitas, red) dan membuat peredaran gelap narkotika di penjara tak terelakan. Pendekatan prohibitionist terhadap alkohol adalah pendekatan usang,” kata dia.

Pasal 7 RUU Larangan Minuman Beralkohol menyebutkan, “Setiap orang dilarang mengkonsumsi Minuman Beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, Minuman Beralkohol tradisional, dan Minuman Beralkohol campuran atau racikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4”. Sanksi terhadap konsumsi Minol golongan A, B dan C diganjar hukuman pidana sedikitnya 3 bulan dan paling lama 2 tahun atau denda sedikitnya Rp10 juta, serta paling banyak Rp50 juta sebagaimana diatur dalam Pasal 20.

Kedua, pengaturan tentang penggunaan alkohol telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Seperti Pasal 492 dan Pasal 300 KUHP. Pengaturan serupa pun dimuat dalam Rancangan KUHP yang sedang dibahas DPR dan pemerintah. Semestinya, kata Eras, seluruh pengaturan ancaman sanksi pidana diharmonisasikan pada pembahasan Rancangan KUHP, bukan diatur dalam RUU tersendiri yang menggunakan pendekatan usang.

Tags:

Berita Terkait