Tiga Catatan Penting untuk Fungsi Legislasi DPR
Utama

Tiga Catatan Penting untuk Fungsi Legislasi DPR

Berupaya memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap DPR, meningkatkan kuantitas dan kualitas legislasi, hingga membangun sistem partisipasi masyarakat dalam pembahasan RUU.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Bangun sistem partisipasi publik

Peneliti senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karius mengatakan selain soal kuantitas, tantangan DPR periode 2019-2024 adalah mereka harus bisa membuktikan kualitas produk legislasi yang dihasilkan setelah beberapa RUU yang akan disahkan di penghujung periode lalu mendapat kritikan dari publik yang akhirnya ditunda. Begitu pula soal buruknya substansi revisi UU KPK yang dikebut untuk disahkan.

 

Hal itu terlihat dari beberapa RUU yang telah disahkan menjadi UU berujung uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Masalahnya, saat pembahasan RUU di hulu tidak maksimal  melibatkan peran serta publik. Ironisnya, masukan masyarakat terkadang tidak diakomodir dalam RUU,” kritiknya.

 

Dia menyarankan di tahun pertama DPR harus memprioritaskan penyelesaian sejumlah RUU kontroversial. Seperti RKUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan, RUU tentang Minerba. “DPR harus fokus pada RUU-RUU ini di tahun pertama,” kata dia.

 

Lucius mensinyalir ada beberapa RUU yang bakal dibuat demi kepentingan program kerja pemerintah lima tahun mendatang. Seperti RUU Minerba, RUU Pertanahan, hingga RUU tentang Pemindahan Ibukota Negara. Baginya, pembahasan sejumlah RUU itu berpotensi rentan transaksional. “Itu sebabnya sejak awal pembahasan, publik seharusnya dilibatkan,” lanjutnya.

 

Menurutnya, legislasi yang berkualitas semestinya mempertimbangkan aspirasi publik/masyarakat. Sebab, sebuah aturan berupa UU yang berlaku mengikat semua warga masyarakat. Karena itu, pembahasan RUU mesti mengakomodir kepentingan semua pihak. “Bukan hanya mengakomodasi kepentingan politik DPR, tapi juga melibatkan partisipasi publik yang luas dalam proses pembahasannya guna menyerap aspirasinya,” tegasnya.

 

Sholikin melanjutkan tertundanya pengesahan sejumlah RUU, seperti RKUHP dan RUU Pemasyarakatan disebabkan minimnya membuka ruang partisipasi masyarakat yang lebih luas. Salah satu catatan evaluasi dari DPR periode sebelumnya, hak masyarakat berpartisipasi dalam pembahasan RUU tidak dipenuhi dengan baik oleh DPR termasuk pemerintah.

 

Dia mencatat ada sejumlah RUU yang dibahas secara tertutup oleh Panitia Kerja (Panja) bersama pemerintah. Tak ada akses informasi dan dokumentasi yang tersedia bagi masyarakat. Bahkan, tak ada ruang diskusi antara pembahas RUU dengan masyarakat. Dia berharap DPR ke depan harus serius membangun sistem partisipasi masyarakat dalam proses legislasi.

 

“Penyediaan informasi dan pelibatan masyarakat dalam pembahasan RUU harus menjadi bagian penting,” katanya.

Tags:

Berita Terkait