Tiga Kategori Terpidana yang Disebut dalam Peraturan KPU
Berita

Tiga Kategori Terpidana yang Disebut dalam Peraturan KPU

Dimungkinkan ada pengecualian.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Pasal 7 ayat (4) Peraturan KPU membuat pengecualian atas larangan. Larangan dikecualikan bagi (a) mantan terpidana yang telah selesai menjalani pemidanaannya, dan secara kumulatif bersedia secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik, serta mencantumkan dalam daftar riwayat hidup; dan (b) terpidana karena kealpaan ringan (culva levis) atau terpidana karena alasan politik yang tidak menjalani pidana dalam penjara dan secara terbuka dan jujur mengumumkan ke publik.

 

(Baca juga: Beda Tafsir Regulasi Pilkada Tantangan Bagi Penyelenggara dan Pengawas)

 

Kini, tantangannya adalah kemungkinan Peraturan KPU itu diajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Dalam konteks ini, komisioner KPU Hasyim Asy’ari mengingatkan hubungan KPU bukan dengan calon yang tersangkut larangan terpidana mencalonkan diri. Hubungan hukum yang terjadi dalam proses pemilihan anggota legislatif adalah antara KPU sebagai penyelenggara dengan partai politik sebagai peserta pemilu. “Yang dilayani adalah partai politik sebagai peserta pemilu,” ujarnya, Rabu (04/7).

 

Itu pula sebabnya, yang diamanatkan dalam Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 adalah partai politik untuk tidak mencalonkan terpidana dalam tiga perkara tersebut. Hal ini bahkan dituangkan secara jelas dalam salinan pakta integritas yang harus di tandatangani oleh pimpinan partai politik di setiap tingkatan yang mengikuti Pemilu. Dalam pakta integritas yang dilampirkan pada Peraturan KPU tertuang rumusan: “Nama-nama bakal calon anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota yang tercantum dalam formulir Model B.1 bukan merupakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak dan/atau korupsi”.

 

Berikutnya disebutkan rumusan: “Apabila kami melanggar hal-hal yang telah kami nyatakan dalam Pakta Integritas ini, yaitu terdapat calon yang diajukan/bakal calon yang tercantum dalam Daftar Calon Sementara/calon yang tercantum dalam Daftar Calon tetap/Calon terpilih yang berstatus sebagai mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak dan/atau korupsi, kami bersedia dikenakan sanksi administrasi berupa pembatalan bakal calon yang diajukan/bakal calon yang tercantum dalam Daftar Calon Sementara/calon yang tercantum dalam Daftar Calon Tetap/calin terpilih anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota di daerah pemilihan yang bersangkutan”.

 

Menurut Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, Pakta Integritas merupakan hal wajib yang harus ditandatangani pimpinan Partai Politik. “Pakta integritas itu masuk ke norma, bahwa Partai sebelum mencalonkan wajib menandatangani pakta integritas. Kalau dia gak tanda tangani gak bisa di proses,” ujar Bayu kepada hukumonline, Selasa (03/7).

 

Bayu menjelaskan bahwa terdapat 3 klasifikasi mantan narapidana yang diatur dalam Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018. Pertama, narapidana yang diputus di bawah 5 tahun penjara. Terhadap mantan narapidana dengan klasifikasi ini, oleh Pearturan KPU No. 20 Tahun 2018 diperbolehkan untuk mencalonkan diri dalam Pemilu Legislatif. Kedua, narapidana yang diputus di atas 5 tahun penjara. Terhadap klasifikasi ini, awalnya dilarang mencalonkan diri. Namun terdapat pengecualian terhadap mantan narapidana ini, yakni apabila bersedia untuk mengumumkan diri ke publik mengenai statusnya sebagai mantan narapidana.

 

Ketiga, mantan narapidana yang sama sekali tidak boleh mencalonkan diri dalam Pemilu legislatif. Narapidana klasifikasi ini adalah mereka yang masuk kategori mantan narapidana kasus korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba sebagaimana yang disebut dalam pakta integritas. “Jadi ada tiga pengklasifikasian mantan narapidana (dalam Peraturan KPU), begitu membacanya” ujar Bayu.

Tags:

Berita Terkait