Tiga Lembaga Negara Dukung Peradilan Bersih
Berita

Tiga Lembaga Negara Dukung Peradilan Bersih

Masih ada aparat pengadilan kurang paham esensi pelindungan saksi.

Oleh:
MYS/M-14
Bacaan 2 Menit
Tiga Lembaga Negara Dukung Peradilan Bersih
Hukumonline

Komisi Yudisial, Ombudsman Republik Indonesia (ORI), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) membuat nota kesepahaman mengenai peradilan bersih. Pimpinan ketiga lembaga negara meneken nota kesepahaman itu di Jakarta, Selasa (28/5), dan dihadiri juga wakil Mahkamah Agung dan Komisi Kejaksaan.

Menurut Eman Suparman, Ketua Komisi Yudisial, pada dasarnya nota kesepahaman tersebut sejalan dengan tugas dan wewenang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Sasarannya adalah terwujudnya peradilan bersih. Peradilan bersih antara lain bisa dilihat dari pelayanan yang baik kepada para pencari keadilan, termasuk perlindungan terhadap saksi dan korban.

Berdasarkan informasi yang dihimpun hukumonline, ada lima ruang lingkup kesepahaman yang diteken. Selain pertukaran data penanganan kasus, dan diklat bersama, ketiga pihak sepaham untuk sosialisasi kelembagaan, kajian, dan pertukaran narasumber/tenaga ahli dalam penanganan laporan masyarakat. Nota kesepahaman berlangsung selama lima tahun dan dapat diperpanjang.

Bagi masing-masing lembaga, ini bukan memorandum of understanding (MoU) pertama. Komisi Yudisial sudah pernah meneken kerjasama dengan Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung. Bahkan dengan lembaga pendidikan hakim Turki. Demikian pula, ORI dan LPSK, sudah menggandeng lembaga lain melalui nota kesepahaman.

Karena itu, Ketua ORI Danang Girindrawardana, dan Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, meminta kesepahaman ini tak hanya di atas kertas. Diperlukan tindak lanjut agar bisa dilaksanakan. Apalagi ketiga pihak msih harus menerjemahkan makna peradilan bersih ke dalam poin-poin yang lebih teknis. “Masih harus ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing-masing supaya implementatif,” pinta Danang.

Wakil ketiga lembaga memang masih harus duduk bersama untuk membahas rencana tindak lanjut nota kesepahaman. Salah satu yang patut mendapat perhatian, kata Semendawai, adalah justice collaborator. Peradilan belum sepenuhnya menerapkan prinsip-prinsip perlindungan terhadap justice collaborator. Aparat peradilan juga belum sepenuhnya memahami konsep perlindungan saksi dan korban, sehingga dalam pemeriksaan permintaan telekonperensi dan pendampingan tak dijalankan sepenuhnya. Beragam peraturan perundang-undangan memang sudah mengarah pada perlindungan, termasuk RUU KUHP.

Dalam sistem peradilan, keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti. Praktiknya, saksi masih sering menghadapi masalah ketika berhadapan dengan pross hukum. “Saksi dalam kasus mafia peradilan kerap menuai ancaman dan intimidasi,” jelas Semendawai.

Tags:

Berita Terkait